Keluarga Korban Pelanggaran HAM Sambung Hidup Melalui Koperasi Gemah Ripah
Peristiwa Mei 1998 dan 1965 bukan hanya merenggut nyawa ratusan ribu orang, tetapi juga berdampak pada ekonomi keluarga mereka kondisinya terpuruk.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa Mei 1998 dan 1965 bukan hanya merenggut nyawa ratusan ribu orang, tetapi juga berdampak pada ekonomi keluarga mereka yang kondisinya kian terpuruk.
Demi memperjuangkan keadilan bagi anak, atau orangtua yang mati dibunuh, perlu sokongan dana. Berangkat dari masalah itu, Koperasi Gemah Ripah dibentuk tiga tahun silam.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Menghabiskan waktu di petang hari, Purwati dan Kusmiyati duduk di kursi sofa, sambil berbincang di selasar rumah sederhana di Cipinang Muara II, Jakarta Timur.
Di teras juga tampak sebuah gerobak berisi sayur-sayuran yang belum terjual. Sesekali perbincangan kedua perempuan yang berusia senja ini terganggu karena lalu lalang kendaraan di depan rumah atau suara anak-anak yang asyik bermain.
Purwati yang hari itu, mengenakan blus dan celana panjang sedangkan Kusmiyati berkerudung coklat. Mereka tampak akrab dan kadang berkeluh kesah tentang beban ekonomi keluarga masing-masing.
Pasalnya, peristiwa delapan belas tahun silam, membuat ekonomi keluarga keduanya, limbung. Purwati dan Kusmiyati, sama-sama kehilangan anak yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarga.
“Kalau mikir ya gini sekarang, ya Allah anak saya, kalau udah kerja, saya udah memetik hasilnya. Seusia saya ini kan 50an lebih, kan berarti kan istilahnya kalau anak yang itu masih hidup, berarti kan kita, nggak ketang, sebulan 100-200 kan pasti dapat rezeki, tapi anak udah diambil YME, ya apa boleh buat, ”kata Purwati.
Kala kerusuhan Mei 98 merenggut nyawa anak mereka, tak ada yang bisa dilakukan. Sebabnya, selain karena usia yang kian menua, juga tak ada modal memulai usaha.
Tapi Purwati, tak mau terus-terusan menyesali peristiwa itu. Toh, ia sadar hidup mesti berjalan. Dan meski ekonomi keluarga terpuruk, ia masih mampu bertahan.
“Awal memang saya dagang sayur, terus karena ada koperasi, saya minjem, jadi buat nambahin buat dagang sayur. Tadinya ya kita modalnya kecil, karena kita nggak punya modal, karena ada koperasi, jadi saya buat penambahan, ya ibaratnya, tadinya cabai setengah kilo, jadi sekilo, bawang sekilo, jadi sekilo setengah, ibaratnya begitu ya, jadi kan nambah. Tadinya nggak punya masako, michin, sekarang pakai, bumbu dapur lengkap semua yang merah tak usah dipakai, “ungkap Purwati
Koperasi yang disebut Purwati, adalah Koperasi Gemah Ripah artinya Tenteram dan Makmur yang anggotanya keluarga korban kerusuhan Mei 1998 dan tragedi 1965.
Sudah tiga tahun, ia menjadi anggota. Sedikit demi sedikit, perempuan asal Pacitan ini mengembangkan usahanya berdagang sayur yang telah dilakoni sejak 25 tahun silam.
Dari pinjaman koperasi itu pula, Purwati bisa membeli gerobak sayur sendiri, dari yang sebelumnya hanya menggelar meja.
“Ya ini kita bikin gerobak, ngutang sejuta, lha ini bikin gerobaknya 700 ini, ongkosnya 100, gelindingane 200, sengnya, kayunya, wes enteklah sejuta, alhamdulillah oleh silihan nggo bikin gerobak, tadinya kan netap, nggak modal lagi, gerobak kan modal sekarang, giliran diangkat kantib, jebol kabeh, yo wes, yoohh si bapak, aku yo ngono,”ungkap Purwati.
Dan berkat koperasi juga, perempuan 51 tahun ini terhindar dari jerat rentenir.
“Karena kalau bank keliling itu takutnya rumah disita, kayak gitu, saya nggak berani lagi, terus diadakan koperasi itu, jadinya saya terus minjem koperasi itu ya sampai sekarang. Alhamdulillah kita bersyukur modalnya bisa nambah, kita dagang, ”kata Purwati
“Kalau keuntungane, ya stabil, namanya orang dagang itu kan pasang surut, kalau lagi ibaratnya ramai, ya alhamdulillah, sehari nggak mati, 50 (ribu), tapi namanya kalau orang dagang itu kalau lagi sepi, pulang modalnya aja kita bersyukur. tapi nggak kembali modal kan, barang masih, bisa dijual lagi,”ujar Purwati.
Dari hasil berdagang sayur pula, Purwati bisa menghidupi suaminya yang sakit-sakitan dan putra bungsunya yang masih menganggur.
“Sebenarnya suami saya, kalau nggak sakit, kalau masih kuat, masih mau kerja, karena dia sakit begitu, ya gimana mau nggak mau kan, saya sendiri yang mikul segala-galanya, beban semuanya, dari ekonomi, semuanya, misalnya kalau ada kegiatan apa, ya saya semua, ya mau siapa? anak udah nggak ada, anak 1 belum kerja,”ungkap Purwati.
Pembentukan Koperasi Gemah Ripah difasilitasi ELSAM dan IKOHI pada 2012. Anggota awalnya sekitar 20 orang yang kemudian berkembang hingga lebih dari 100 orang.
Mayoritas anggota koperasi memang dari korban insiden Mei 98 dan Tragedi 1965 yang kondisinya miskin seperti Purwati.
“Mereka memang sebagian masyarakat kelas bawah, yang ditandai dengan, rumahnya dempet-dempetan, atapnya rendah-rendah, satu rumah dihuni oleh lebih dari 4 orang, anak beranak, cucu apa, tinggal satu rumah, dan sebagian besar ibu-ibu ini punya suami, tapi suaminya kerja serabutan, sok ada, sok enggak, tapi kan hidup harus jalan, ibu-ibu ini sebagian besar itu tulang punggung keluarga, pencari nafkah utama,”ungkap Aktivis ELSAM Rini Prasnawati.
Kata Rini, koperasi merupakan solusi agar keluarga korban bisa berdaya secara ekonomi. Dengan itu, mereka bisa terus bertahan memperjuangkan keadilan.
“Kita berpikir ini korban juga harus berdaya secara ekonomi karena kalau tidak berdaya secara ekonomi bagaimana bisa menuntut, ke sana ke mari aja membutuhkan ongkos, dll, transport aja harus bayar kalau kita advokasi, menuntut negara itu harus mendatangi lembaga-lembaga negara kan, mulai dari situ, kami berinisiatif untuk membuat koperasi, kita rembugan sama korban,”ujar Rini
Bagi Purwati, Kusmiyati dan puluhan keluarga korban lain, koperasi jadi wadah pemersatu untuk terus melanjutkan perjuangan.
“Lantung sana, lantung sini, lari sana, lari sini, untung aja ada koperasi, kalau nggak ada koperasi, udah putus, dari dulu bubar. Karena kita ada koperasi, jadi kita masih, pertemuan sama teman-teman itu, pertemuan sama mahasiswa-mahasiswa juga,”kata Purwati
“Kalau ada yang tanggung jawab kan udah dari dulu-dulu, sampai sekarang, ibaratnya kalau bilang lelah ya lelah, bilang capek ya capek, bilang suntuk, jadi ibaratnya, lari sana, lari sini, sebenarnya ngikut, tapi mana tanggung jawabnya juga nggak ada. Seperti kayak Jokowi, pak Ahok, kayak gitu sebenarnya, gimana keluarga korban, kok sudah sekian tahun, gimana?”tutup Purwati.
Penulis : Ninik Yuniati/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)