Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Putusan MK Terkait UU Tipikor Dinilai Menghambat Pemberantasan Korupsi

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dinilai menghambat pemberantasan korupsi.

Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hendra Gunawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dinilai menghambat pemberantasan korupsi.

Dalam putusannya, Mahkamah memutuskan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.

"Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 ini tidak tepat dan mengaburkan pengertian korupsi itu sendiri," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Miko Ginting, Jakarta, Kamis (26/1/2017).

Apabila ditelisik lebih jauh, kata Miko Ginting tidak ada persoalan norma pada kedua pasal itu. Inti delik (bestandelen) dari kedua pasal itu adalah "memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum" dan bukan pada "dapat merugikan keuangan negara".

Kedua pasal itu hanya menempatkan unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" sebagai elemen delik. Apalagi MK melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 sudah menyatakan bahwa pemaknaan merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi.

Oleh karena itu, apabila suatu tindakan memenuhi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum sudah terpenuhi, maka tindak pidana korupsi sudah terjadi. Sebaliknya, pun sudah ada kerugian negara tetapi unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain secara melawan hukum tidak terpenuhi, maka tindak pidana korupsi belum terjadi.

Interpretasi dan pelaksanaan penegakan hukum harus diakui selama ini turut mengaburkan pengertian kedua pasal itu. Seakan-akan harus ada kerugian negara untuk terpenuhinya delik menurut Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Penegak hukum pun cenderung menunggu dan bergantung pada hasil audit pemeriksa keuangan. Hal ini dilakukan hanya untuk tujuan memudahkan pembuktian. Tidak ada persoalan norma dari kedua pasal itu.

Berita Rekomendasi

Namun, penghilangan kata "dapat" pada kedua pasal itu oleh MK membawa pengertian yang sama sekali jauh berbeda. MK tidak berhasil mendudukkan pengertian kedua pasal itu sebagaimana mestinya melainkan membentuk norma yang akhirnya mengaburkan pengertian korupsi menurut kedua pasal itu sekaligus menyulitkan pemberantasan korupsi.

Dengan adanya putusan ini, maka dampak yang akan terjadi adalah pengusutan kasus korupsi berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi akan sulit sekali dilakukan. Hampir dipastikan mustahil ada Operasi Tangkap Tangan (OTT) meskipun Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi terpenuhi.

KPK dan penegak hukum lainnya akan sangat bergantung pada pemeriksa keuangan (yang menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2016 adalah BPK). Selain itu, tentu yang paling perlu diwaspadai adalah gelombang upaya hukum untuk kasus-kasus berjalan dengan dalih Putusan MK tersebut.

"Apabila BPK tidak segera mengeluarkan perhitungan kerugian negara yang nyata (actual loss) atas permintaan penegak hukum, maka dapat dipastikan para terdakwa akan melenggang bebas," tukas Miko Ginting.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas