Antasari Azhar: Politik Dinasti Sudah Tidak Tepat Lagi
“Politik dinasti itu sangat kental dengan korupsi. Karena itu, dalam perspektif hukum di negara ini, politik dinasti sudah tidak tepat lagi," katanya.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
![Antasari Azhar: Politik Dinasti Sudah Tidak Tepat Lagi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/antasari-azhar-ananta-wahana_20170213_221916.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik dinasti yang selalu lekat dengan korupsi sudah usang. Kemajuan teknologi komunikasi menjadikan tranparansi, akuntabilitas dan good corporate governance (GCG) suatu tuntutan yang tidak mungkin dapat dihindari.
Sehingga korupsi dan nepotisme akan menjadi obyek utama dalam pengawasan berbasis teknologi komunikasi ini.
Pada satu saat apapun alasannya politik dinasti harus diamputasi karena kental dengan mental korupsi.
Demikian benang merah dari seri diskusi Pilkada “Bahaya Laten Politik Dinasti” di Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Kampung Babakan RT 01/06, Kelurahan Binong, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Sabtu (11/2/2017) silam.
Diskusi yang digagas Forum Semangat Rakyat (Semar) ini menghadirkan tiga narasumber, Antasari Azhar (mantan Ketua KPK), Ito Prajna Nugroho (Staf Ahli Menteri Pertahanan RI) dan Gus Imron (Sekjen DPP Ikatan Pondok Pesantren Indonesia).
“Politik dinasti itu sangat kental dengan korupsi. Karena itu, dalam perspektif hukum di negara ini, politik dinasti sudah tidak tepat lagi. Jika sebuah masyarakat ingin hidup sejahtera, politik dinasti harus dihindari,” ungkap mantan Ketua KPK ini.
Antasari, memberi contoh tentang politik dinasti yang ada di lingkungan RT.
“Kalau seorang Ketua RT korupsi uang kas, kemudian setelah masa jabatannya habis mendorong istrinya jadi Ketua RT, tidak mungkin istrinya mau mengungkap keborokan korupsi suaminya, karena istrinya juga menikmati hasil-hasil korupsi suaminya,” terang Antasari.
Dijelaskan, cara seperti itu akan terus berlangsung hingga anaknya atau cucunya menjadi Ketua RT. Akibatnya kasus-kasus korupsi yang dilakukan dinasti itu akan terus saja mengendap, dan pada gilirannya politik dinasti itu akan sangat merugikan rakyat, karena uang-uang itu kemudian tidak semua turun ke rakyat.
“Nah, itulah kelemahan politik dinasti. Selain itu juga politik dinasti tidak baik untuk kesinambungan karena tidak akuntabel. Kalau kata orang awam, tidak ada yang lain apa?” ucap Antasari.
Dalam undang-undang pidana korupsi dijelaskan Antasari, memang tidak ada aturan yang melarang hal itu. Misalnya, bapaknya bupati, maka anaknya tidak boleh jadi bupati.
Namun, secara moral politik dinasti itu kurang pas lagi dan secara praktik korupsi terjadi pada politik dinasti.
“Cara untuk menghentikan politik dinasti itu kembali kepada hati nurani masing-masing. Namun saya tidak bermaksud memprovokasi siapa pun, karena saya tahu ada Pilkada,” katanya.
Menurut Ito Prajana Nugroho, politik dinasti itu tidak hanya ada di daerah, namun juga ada di tingkat nasional, bahkan sampai juga ke tingkat perpolitikan di Asia.
“Politik dinasti itu politik yang memiliki hubungan darah, patron kekerabatan, dan oligarki. Tentu politik dinasti tidak cocok dengan tata pemerintahan kita yang memilih jalan demokrasi,” ujarnya.
Ditegaskan Ito, politik dinasti mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, dalam politik dinasti itu tidak ada keterbukan dalam pengelolaan pemerintahan terhadap publik.
Politik dinasti itu menurut dosen Filsafat Sosial Universitas Pertahanan ini, sebetulnya bukan barang baru, namun sudah terjadi sejak dulu, terutama ketika negeri ini masih dalam bentuk kerajaan.
“Gerakan perlawanan pertama terhadap politik dinasti di Nusantara pada saat Perang Jawa tahun 1825-1830 melalui sosok Diponegoro, meskipun masih diwarnai berbagai motif tradisional,” paparnya.
Ito berkeyakinan politik dinasti akan terus berupaya menguasai ruang publik melalui cara-cara langsung atau sistem demokrasi dan cara langsung atau kasak-kususk dan konspirasi.
Gur Imron yang juga didaulat sebagai narasumber mengatakan secara tegas politik dinasti itu harus diamputasi. “Tidak ada jalan lain, politik dinasti itu harus diamputasi, diamputasi,” tandasnya.
Alasannya lanjut Imron, karena politik dinasti itu merugikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain karena kental dengan korupsi, politik dinasti juga punya muatan kekerasan terhadap masyarakat.
“Politik dinasti itu penjajahan terhadap warga negara, juga penjajahan terhadap jiwa dan raga anak-anak bangsa. Selain itu juga membodohkan bangsa. Jadi harus diamputasi,” katanya.
Sesepuh Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Ananta Wahanan, mengatakan politik dinasti harus dihentikan agar tidak menjadi kanker karena terus menjalar.
Politik dinasti harus dihentikan caranya hanya dengan operasi atau amputasi. Berdasarkan kesaksian dan testimoni, politik dinasti itu sangat berbahaya dan merusak sendi pemerintahan.
Dalam kesempatan tersebut, Ananta juga mengingatkan kepada masyarakat terkait dengan masa tenang Pilkada Banten. “Kita harus waspada terhadap praktik politik uang,” tandasnya.
Ananta mengatakan siapa pun yang bisa menangkap orang yang melakukan money politics (politik uang), disediakan hadiah menarik berupa uang Rp 10 juta – yang untuk mendapatkannya harus disertai bukti-bukti otentik.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.