Ketua MA Baru Harus Bisa Berantas Mafia Peradilan
Pergantian itu dilakukan di tengah sorotan masyarakat terhadap buruknya integritas hakim.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masa jabatan Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali, berakhir. Lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman itu akan melakukan pemilihan Ketua MA periode masa jabatan 2017 hingga 2022, pada Selasa (14/2/2017). Pergantian itu dilakukan di tengah sorotan masyarakat terhadap buruknya integritas hakim.
Berdasarkan catatan dari Koalisi Pemantau Peradilan, di bawah kepempinan Hatta Ali selama periode 2012-2017, sebanyak 18 hakim baik pegawai dan pejabat di lingkungan peradilan yang diduga terlibat atau diputus terlibat korupsi. Tak hanya itu, sebanyak 12 orang lainnya disinyalir melakukan pelanggaran etik.
Belum lagi, masalah lainnya, seperti masih banyak praktik maladministrasi terjadi di pengadilan, seperti yang diungkap oleh Ombudsman RI. Hal ini menunjukkan akses para pencari keadilan terhadap dokumen-dokumen putusan tersebut belum seluruhnya terpenuhi.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI (MaPPI-FHUI), Aulia Ali Reza, mengatakan Ketua MA yang baru menghadapi tantangan membenahi internal kelembagaan dan memberantas mafia peradilan. Sehingga, harapannya Ketua MA yang baru dapat mewujudkan reformasi lembaga dan peradilan di Indonesia.
“Ada dua masalah, pertama membenahi sistem yang mendukung terjadi korupsi di pengadilan. Kedua masalah internal kelembagaan. Harapan, Ketua MA terpilih bisa mengatasi masalah dan memberikan ide baru terkait reformasi peradilan,” tutur Ali, saat dihubungi, Senin (13/2/2017).
Namun, upaya mewujudkan reformasi lembaga itu bertolak belakang dengan tata cara pemilihan Ketua MA. Pemilihan masih dilakukan secara tertutup tanpa ada uji kelayakan dari masing-masing calon yang melibatkan lembaga lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Mengacu pasal 8 ayat 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pemilihan dilakukan secara internal oleh para Hakim Agung. Tata cara diatur di Surat Keputusan Ketua MA Nomor 19/KMA/SK/II/2012 tentang Tata Tertib Pemilihan Ketua MA. Disebutkan pemilihan dinyatakan sah apabila dihadiri paling sedikit 2/3 dari jumlah hakim agung. Saat ini hakim agung berjumlah 48 orang.
Meskipun begitu, kata Ali, bukan berarti saat proses pemilihan dilakukan secara tertutup tanpa ada pengawasan dari publik. Dia menilai, partisipasi publik sebagai pengawas independen merupakan sebuah keniscayaan untuk menghindari dugaan masuknya kepentingan-kepentingan gelap di luar hukum dan penegakan keadilan.
Dia mencontohkan bagaimana MA melakukan mekanisme lelang jabatan saat memilih Sekretaris MA yang ditinggal oleh Nurhadi karena mengundurkan diri atau pensiun dini. Bahkan MA, membentuk panitia seleksi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
“Kenapa tidak dilakukan sama dalam hal pemilihan Ketua MA. MA bisa terbuka, setidaknya, lembaga lain, seperti KPK, KY, PPATK untuk lihat apa ada masalah terkait integritas dan kapabilitas. Bukan intervensi, tetapi untuk menjamin proses menghasilkan calon terbaik,” tegas Ali.
Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) melalui juru bicaranya, Farid Wajdi, menyoroti tata cara pemilihan ketua baru yang dilakukan secara terbatas terbatas. MA tetap diminta untuk memperhatikan latar belakang para calon, penyampaian capaian kinerja mantan ketua, dan intensi para pemantau serta pengamat di luar lembaga itu.
“Sekalipun diatur secara terbatas terhadap prosesnya, maka KY mengimbau agar tetap memperhatikan aspirasi publik,” ujar Farid.
Pihak MA sendiri telah siap menggelar pemilihan ketua. Beberapa waktu lalu telah dibentuk Tim Panitia Pelaksana Kegiatan. Rencananya, pemilihan pada Selasa ini, akan dihadiri oleh pejabat pengadilan se-Indonesia dan 48 hakim agung yang mempunyai hak suara.