Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gamawan Fauzie Siap Dikutuk

Majelis hakim mencecar sejumlah pertanyaan kepada mantan Gubernur Sumatera Barat itu.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Gamawan Fauzie Siap Dikutuk
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (kanan) bersama mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap bersiap memberikan keterangan pada sidang lanjutan dugaan Korupsi proyek E-KTP dengan terdakwa mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017). Pada sidang yang menghadirkan enam saksi itu, Gamawan mengaku tidak menerima uang dari proyek E-KTP. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis hakim Tindak Pidana Korupsi menggelar sidang kedua kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017) sejak pukul 10.15 WIB. Agenda sidang berupa pemeriksaan saksi yang didatangkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dihadirkan sebagai saksi pertama. Majelis hakim mencecar sejumlah pertanyaan kepada mantan Gubernur Sumatera Barat itu. Dia disebut-sebut menerima uang terkait korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) senilai US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta.

“Saya sebenarnya bukan orang yang biasa menyakiti, tetapi mungkin ini tergolong menyakitkan, tetapi ini sebagai profesi saya. Terkait dengan e-KTP apakah anda pernah menerima sesuatu?” tutur hakim John Halasan Butar-Butar kepada Gamawan di persidangan.

Secara tegas, pria asal Solok, Sumatera Barat itu membantah menerima uang. “Satu rupiah pun saya tidak pernah menerima yang mulia, demi Allah, dan saya minta kalau saya menghianati bangsa ini, saya minta didoain kalau saya menerima satu rupiah didoakan seluruh rakyat Indonesia, saya dikutuk Allah SWT,” ujarnya.

Sementara itu, mengenai pemberian uang Rp 50 juta, dia mengaku itu honor sebagai pembicara di lima provinsi. “Saya baca disebut-sebut uang Rp 50 juta ini, menerima uang Rp 50 juta untuk lima daerah. Saya perlu clearkan ini karena banyak yang bertanya kepada saya. Itu honor pembicara saya di lima provinsi,” kata dia.

Di kesempatan itu, Gamawan menjelaskan awal mula program tersebut yang saat ini berbuntut sebuah kasus. Di hadapan majelis hakim, Gamawan mengklaim program itu bukan gagasannya melainkan Mendagri sebelumnya, yaitu Mardiyanto.

Berita Rekomendasi

John Halasan menanyakan kepada Gamawan dan mencari tahu atas siapa gagasan proyek yang menelan anggaran negara Rp 5,9 Triliun itu. “Sudah ada sebelum anda menjabat sebagai menteri dalam negeri?” tanya Halasan. “Iya, yang mulia,” jawab Gamawan. “Yang anda tahu gagasan siapa itu?” lanjut Halasan. “Saya tahu itu amanat undang-undang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,” jawab Gamawan.

Gamawan menjelaskan, program e-KTP merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang nantinya diperuntukkan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

Dia juga mengungkap pernah diundang oleh DPR RI untuk melakukan rapat dengar pendapat tentang berbagai permasalahan dalam negeri dan salah satunya adalah proyek e-KTP. Di rapat itu, pihak DPR meminta supaya pembiayaan proyek e-KTP diambil dari APBN murni tanpa pinjaman luar negeri.

Lalu, Gamawan melaporkan hasil dari rapat itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan akhirnya diminta pembahasan proyek dibahas di rapat yang dipimpin oleh Wakil Presiden Budiono dan dihadiri oleh Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Kepala BPKP, dan pejabat Eselon I Kementerian dan Lembaga lainnya.

Di rapat itu, dia meminta supaya proyek e-KTP tak dijalankan oleh Kemendagri, namun hal tersebut ditolak. Wakil presiden menyampaikan keberatan karena itu merupakan tugas pokok dan fungsi dari Kemendagri sebab Ditjen Dukcapil ada disitu.

Dia menolak mengerjakan proyek itu karena merupakan orang baru di Kemendagri. Selain itu, dia khawatir tidak bisa menjalankannya. Akhirnya, dari rapat itu dibuat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2010. Keppres itu memerintahkan membentuk tim pengarah dengan ketua adalah Menko Polhukam, sedangkan Mendagri wakilnya.

“Jadi, saya perlu meluruskan ini yang mulia. Jadi di media di luar seolah-olah ini usu saya dengan dana dalam negeri. Padahal itu permintaan DPR dan sudah ada surat,” tegasnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas