Tersingkir Perlahan Dari Tanah Leluhurnya, Begini Nasib Suku Amungme di Papua
Sejak Freeport beroperasi, suku Amungme dan Kamoro yang mendiami Gunung Nemangkawi atau dikenal Grasberg di Timika, Papua mengalami kekerasan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak Freeport beroperasi, suku Amungme dan Kamoro yang mendiami Gunung Nemangkawi atau dikenal Grasberg di Timika, Papua mengalami kekerasan tak berkesudahan.
Gunung suci mereka dikeruk, habis ditambang perusahaan asal AS tersebut tanpa persetujuan sang pemilik tanah ulayat.
Kini, negosiasi baru tengah dilakukan antara pemerintah dengan Freeport.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
“Saya keluar, masuk tahanan saya pikir 18 kali mengenai masalah Freeport. Masyarakat yang punya kebun, rumah. Suami saya diikat dan ditahan. Dibotaki, tangan dibungkus kain merah untuk mereka bunuh. Ditangkap dan dimasukkan ke tahanan,”ungkap Yosepha Alomang memutar kembali ingatannya.
Yosepha Alomang atau sehari-hari dipanggil Mama Yosepha, sudah tak ingat lagi berapa kali masuk keluar penjara saking seringnya. Ini dilakukannya karena hendak merebut hak-haknya yang dirampas PT Freeport Indonesia.
Mama Yosepha, juga tak pernah tahu berapa usianya. Tapi orang di sekitarnya mengatakan, dia lahir sekitar tahun 1940-an.
Kedua orangtuanya meninggal, kala ia masih bocah, dan kemudian dipelihara oleh sesama suku Amungme yang mendiami Gunung Nemangkawi.
“Usia saya tidak pernah tahu. Tapi selalu saya punya umur ketika orangtua karena orangtua tidak hitung umur. Jadi umurnya saya tidak tahu, “ujar Mama Yosepha.
Di Gunung Nemangkawi tinggal dua suku besar. Di hulu atau gunung Amungme berkuasa, sementara hilir atau sungai, suku Kamoro. Dan bagi mereka, gunung itu, suci. Tokoh Masyarakat Papua, Thaha Al Hamid, bercerita.
“Bagi masyarakat Amungme, dan pada umumnya orang-orang asli di Papua. Tanah itu mama. Tanah itu suci. Tanah itu magis,“kata Thaha Al Hamid yang merupakan tokoh masyarakat Papua.
“Sehingga pandangan mereka memang gunung itu suci tak boleh disentuh dan ekplorasi dilakukan orang-orang luar dengan melihat ada emas. Orang Amungme tidak tahu di atas tanahnya ada kekayaan yang luar biasa, “ujar Thaha Al Hamid.
Thaha menambahkan pandangannya mengenai hubungan manusia dan tanah itu religomagis.
“Tapi ada umumnya, pandangan hubungan manusia dengan tanah itu religomagis. Ada sesuatu yang sangat ritus di situ. Orang makan, lahir, dan meninggal di makamkan di atas tanahnya juga, “kata ujar Thaha Al Hamid.
Suku Amungme sendiri menggambarkan gunungnya bagaikan anak panah putih. Sebab persis di puncak Nemangkawi bertahta salju abadi.
Suku Amungme dan Kamoro yang hidup dari berburu dan berkebun, terisolir dari dunia luar. Kalaupun ada, itu adalah para misionaris dari Belanda dan Amerika Serikat.
Kehadiran para misionaris kemudian membawa Kalmalanki atau Moses Kilangin, mengenyam pendidikan formal hingga pada 1953, ia manyabet gelar diploma guru.
Di saat itu, Moses menjadi anak suku pertama yang merasakan sekolah. Tapi jauh sebelumnya, pada 1936 saat berusia 11 tahun, Moses sudah berkenalan dengan orang luar; Tim Ekspedisi Colijn yang ingin mencapai puncak Cartensz.
Ekspedisi itu rupanya membawa bencana, dengan kehadiran tim berikutnya yang dipimpin Forbes Wilson. Tim itu, tiba di Timika pada April 1960.
Dalam bukunya yang berjudul “Moses Kilangin, Uru Me Ki”, Moses heran karena Forbes Wilson begitu memaksa untuk naik ke Nemangkawi.
Perjalanan yang dimulai Juni 1960, selesai pada Juli 1960. Setelahnya, tim Forbes Wilson pulang ke negaranya Amerika Serikat. Dan, Moses kembali mengajar sebagai guru agama.
Tanpa diketahui suku Amungme, April 1967, pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya eksplorasi konsentrat tembaga di Nemangkawi atau Grasberg, untuk 30 tahun (1967-1997).
Forbes Wilson sendiri adalah manajer eksplorasi sulfur di Freeport. Kelak bertahun kemudian, Forbes jadi petinggi di Freeport.
Masih di buku itu, usai tandatangan kontrak, Freeport mulai menyiapkan pembukaan lokasi dengan membangun perkemahan untuk pengeboran.
Namun kala Freeport hendak mengirim peralatan, suku Amungme marah. Sebab gunung mereka, akan dikeruk. Malamnya, suku Amungme memalang tempat-tempat yang diyakini suci.
Anak Moses Kilangin, Yopi Kilangin bercerita.
“Waktu pertama sekali kejadian tahun 1974 itu masyarakat protes waktu operasi pertama. Mereka pergi dan buat palang untuk halangi Freeport. Kemudian dalam cerita ayah saya Moses Kilangin, setelah itu Freeport cari ayah saya. Karena ayah saya yang mengerti ayah saya. Ayah dijemput. Datang dan lihat masyarakat membuat panah tanam patok di sekeliling gunung, “cerita Yopi Kilangin.
“Ayah datang kemudian semua orang lihat, tanya “bagaimana kamu buat itu? Kan ini tempat sakral? Kenapa masuk?” Ayah jelaskan, “Orang-orang ini lihat batu-batu menyala. Mereka mau tahu batu ini ada isi atau tidak. Mereka hanya lihat sedikit. Kalau ada isi, kita duduk bicara.” Masyarakat tunggu kapan mereka datang dan kasih tahu itu batu, sampai hari ini tidak terlaksana. Sampai hari ini!,” papar Yopi.
Tokoh Masyarakat Papua, Thaha Al Hamid, mengatakan masuknya Freeport membuat suku Amungme tersingkir perlahan dari tanahnya. Mereka, bahkan, diperlakukan buruk.
“Kisah awalnya Freeport masuk, orang asli berada di luar pagar dan perusahaan makan ayam, nanti sisa dibuang keluar dan orang asli pungut. Orang yang punya tanah hidup seperti kaum dhuafa. Sayur tak baik, buah busuk, dibuang. Pola hubungan itu tak manusiawi. Orang asli di bawah tekanan secara kultural dan fisik, “ungkap Thaha Al Hamid.
Itu mengapa suara-suara protes, aksi-aksi demonstrasi, tak putus dilakukan suku Amungme. Salah satunya dipimpin Yosepha Alomang atau Mama Yosepha.
“Saya dari tahun 1976 itu demo Freeport bersama mama-mama dari kelompok Nemangkawi. Kedua, sampai 1980an 1990-2000 saya juga demo. Karena kerja sedikit, bawa kepala desa, kasih minum bir dan perlakukan kami seperti sampah,”ujar Yosepha Alomang.
“Tahun 1976-1978 saya demo di bandara Timika, potong sayur dari mana-mana datang mama-mama. Saya bersama kelompok. Karena Freeport tidak lihat yang punya negeri ini. Freeport tidak kasih orang pribumi untuk kerja, ”ungkap Yopi Kilangin.
“Saya biasa demo di mana saja. Sampai ada pembebasan. Tuhan pun masih jaga saya dengan kehendak keinginan orang Papua harus diberikan, “kata Yopi.
Yopi Kilangin, juga mengatakan protes itu sampai merebut nyawa orang-orang suku Amungme.
“Kadang-kadang mereka direndam, dipukul masukkan ke tahanan. Kadang ada beberapa sampai meninggal. Ya begitulah,”kata Yopi.
Kemarahan suku Amungme itu kemudian dibelokkan menjadi gerakan separatis lantaran munculnya Organisasi Papua Merdeka pimpinan Kelly Kwalik. Kembali Thaha Al Hamid dan Yopi Kilangin.
“Yang nyata-nyata melawan ya otomatis akan berhadapan dengan kekuatan negara. Kemudian muncul gerakan Kelly Kwalik OPM. Itu sudah terjadi lama, itu respon mereka kampung mereka berubah tanpa membicarakan itu dengan mereka,”papar Yopi.
“Tahun 1977 ada muncul protes. Gabung dengan isu politik. Masuk lagi. Baru kemudian, protes masyarakat dipandang sebagai gerakan politik Papua merdeka. Jadi seluruh protes dicap sebagai gerakan politik, ”pungkas Yopi.
Entah sudah berapa yang meregang nyawa akibat konflik ini. Dan, bagi suku Amungme dan Kamoro, keberadaan Freeport di tanah mereka, illegal.
Pertama karena Kontrak Karya dilakukan justru sebelum Papua dinyatakan bergabung dengan Indonesia.
Kedua, tak ada bukti persetujuan pemilik tanah ulayat kepada Freeport maupun pemerintah Indonesia kala itu.
Komnas HAM bahkan menyebut ada dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan ini. Seperti apa tepatnya? Simak kelanjutannya.
Penulis : Quinawaty Pasaribu/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.