e-KTP Dinilai Punya Dampak Besar Kisruh di Pilkada 2017
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai kasus e-KTP tidak hanya persoalan kerugian negara. Tetapi juga berdampak bagi demokrasi.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai kasus e-KTP tidak hanya persoalan kerugian negara. Tetapi juga berdampak bagi demokrasi.
"Setelah kami telusuri, korupsi e-KTP punya dampak besar bagi kisruh dan sengkarut pemenuhan hak politik warga negara terutama pilkada serentak 2017 lalu," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni dalam diskusi Ngobrol Pintar (Ngopi) bertajuk "Korupsi e-KTP dan Dampaknya Bagi Demokrasi Kita" di D Hotel, Jakarta, Minggu (2/4/2017).
"Pada 2015, tidak ada aturan e-KTP sebagai basis pencalonan dalam pilkada atau sebagai dasar masuk daftar pemilih," tambah Titi.
Baca: Peneliti Nilai Proyek e-KTP Sudah Bermasalah Sejak Awal
Titi mengatakan terminologi berulang-ulang soal syarat penggunaan e-KTP akhirnya tertuang dalam UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada setelah dilakukan beberapa revisi.
Setidaknya terdapat tiga point keterkaitan e-KTP dalam Pilkada. Pertama, syarat e-KTP diperlukan ketika seseorang ingin menjadi calon kepala daerah.
Kedua, untuk calon perseorangan harus mendapatkan dukungan sesuai persyaratan dengan dasarnya e-KTP. "Dukungan harus dibuktikan dengan e-KTP," kata Titi.
Ketiga, kalau tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan e-KTP.
"Jadi, dalam UU nomor 10 tahun 2016 syaratnya berubah dari KTP biasa menjadi e-KTP," katanya.
Titi mengungkapkan upaya penggunaan e-KTP sudah dimulai sejak Pemliu 2014. Tetapi, hal tersebut belum berhasil diwujudkan.
Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi terus meyakinkan bahwa e-KTP bisa meningkatkan daftar kualitas DPT.
"Kami dulu juga mengingatkan, agar hak pilih warga negara tidak boleh dipertaruhkan dengan administrasi kependudukan. Tidak boleh ada warga negara untuk memilih dikhianati dengan persoalan keterpenuhan hak kependudukan," katanya.
Namun, kata Titi, tetap saja pada UU 10/2016 akhirnya penggunaan e-KTP sebagai basis administrasi kepemiluan disetujui.
Titi mengatakan pemaksaan administrasi penduduk sebagai basis administrasi kepemiluan berakibat pada kisruhnya penyusunan DPT pilkada serentak 2017.
"Kok bisa-bisanya kita percaya diri menerapkan aturan yang punya persoalan di lapangan dan terpengaruh pada jaminan konstitusional hak warga negara," imbuh Titi.
Titi mengakui ada aturan soal surat keterangan (suket) yang bisa menjadi solusi. Tetapi hal itu tetap saja menjadi beban bagi warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya. Sebab, suket sifatnya bukan pelayanan, melainkan keaktifan. Suket baru bisa dikeluarkan jika masyarakat yang mengurusnya.
"Harusnya negara yang mengeluarkan suket. Bukan warga yang harus dibebani mengurus mendapatkan suket. Kan yang salah bukan warga negara," kata Titi.