Sastrawan Asia Tenggara Apresiasi Karya Puisi Denny JA
Sastrawan dari empat negara: Malysia, Indonesia, Thailand dan Brunei berkumpul membahas isu sosial dalam 24 buku puisi Denny JA.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dunia sastra yang selama ini diam, tiba-tiba bergolak. Isu-isu sosial yang sensitif yang dahulu pantang digubah dalam puisi, tiba-tiba dikuak dan dipertanyakan.
Masalah pernikahan antaragama, kekerasan terhadap minoritas, diskriminasi etnis Cina, dan penolakan LGBT (lesbian, gay, dan biseks, dan transgender), misalnya, dibuka dalam dunia sastra.
Bagai kotak pandora, masalah-masalah yang dulu tertutup dalam sastra ini, kini ramai dibincangkan oleh para penyair. Dampaknya, kini dunia sastra makin terlibat dalam pergumulan hidup sehari-hari manusia modern.
Demikian salah satu isu yang dibicarakan dalam Temu Sastrawan Asia Tenggara 4-5 April di Sabah, Malaysia. Sastrawan dari empat negara: Malysia, Indonesia, Thailand dan Brunei berkumpul membahas isu sosial dalam 24 buku puisi Denny JA.
“Denny JA sengaja memilih isu sosial tidak popular untuk dituangkan dalam puisi-puisi esainya, sehingga muncul kontroversi. Dan sangat sedikit sastrawan yang berani mengambil resiko berhadapan dengan massa mayoritas,” kata Jamal D. Rahman, penyair yang juga pemimpin redaktur Majalah sastra Horison di acara itu, dalam keterangan tertulis yang diterima Kamis (6/4/2017).
Sementara itu sastrawan Sabah, Jasni Matlani, menyatakan kehadiran puisi esai Denny JA yang mendobrak konsep ketuhanan seperti melanjutkan puisi-puisi sufistik Hamzah Fansuri, Chairil Anwar, dan Abdul Hadi WM.
Dalam puisi Denny JA yang berjudul “Burung Trilili Bertengkar dalam Persepsi” -- menurut Jasni yang juga Presiden Dewan Bahasa dan Sastra Sabah ini – sang penulis mencoba menggedor ideologi, pemikiran, dan konsep ketuhanan yang stagnan yang selama ini ada.
Secara pribadi, kata penulis cerpen “Balqis dan Mimpi Jerusalem” ini, saya mengagumi Denny JA karena puisi-puisinya sangat inspiratif. Di tengah kesibukannya sebagai seorang konsultan politik dan pebisnis, ia masih menyempatkan diri membuat puisi.
Adapun Prof. Madya Ampuan Dr. Haji Ibrahim dari Akademi Pengajian Brunai Universitas Brunai Darussalam menilai puisi esai karya Denny JA ini unik dan murni karena ia mempunyai style yang berbeda dengan kebanyakan karya puisi yang ada.
Setiap puisi esai karya Denny JA ada isu sosial yang berbasis peristiwa nyata. Ia menyelipkan banyak pengajaran atau pesan-pesan sosial kepada masyarakatnya.
“Ini memperlihatkan bahwa Denny JA adalah seorang penyair yang luar biasa, menghasilkan puisi-puisi komit dengan gaya baru dan sangat terikat dengan status sosial di sekelilingnya,” ungkap Dr. Haji Ibrahim.
Sementara itu, pengkaji sastra asal Thailand, Dr. Phaosan Jehwae ikut memberikan apresianya atas puisi Denny JA.
Menurut pengajar sastra di Universitas Pattani, Thailand ini, menulis puisi seharusnya tidak sekadar memilih kata-kata indah dan estetika kalimat bertipografi sastra.
"Tapi juga puisi harus merekam jejak sejarah dan berbicara tentang realitas yang ada. Karena itu, kepekaan sosial, kemahiran mengolah bahasa dan kecerdasan pikiran harus dimiliki penulis puisi."