PT Tirta Fresindo Tetap Beroperasi, Surat Bupati Pandeglang Dinilai Tak Bergigi
Bisnis minuman kemasan oleh PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group diklaim telah menyerobot Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bisnis minuman kemasan yang dilakukan oleh PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group diklaim telah menyerobot Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang, Banten.
Akibatnya, warga yang telah bertahun-tahun bergantung pada mata air dari kaki gunung itu, mengalami kekeringan. Mereka pun mengadu ke kantor bupati.
Sayangnya, aduan mereka hanya dianggap angin lalu, hingga berujung pada emosi warga dengan merusak gudang perusahaan.
Seperti apa konflik di sana? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
PT Tirta Fresindo Jaya, anak usaha Mayora Group mulai masuk ke Banten di tahun 2012.
Pasalnya di Desa Cadasari, yang posisinya berada di perbatasan antara Kabupaten Pandeglang dan Serang, ada mata air yang masih jernih juga melimpah, yaitu Mata Air Gunung Karang.
Mata air itu, selama bertahun-tahun digunakan masyarakat sekitar; petani maupun peternak, termasuk pesantren untuk bertani dan kebutuhan sehari-hari.
Namun kehadiran perusahaan tersebut tak disadari warga setempat. Sebab sepengetahuan mereka, PT Tirta Fresindo Jaya hanya berencana membangun gudang.
Tapi setahun setelahnya atau pada 9 Desember 2013, Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang, mengeluarkan SK Nomor 600/548.b/SK-DTKP/XII/2013.
SK tersebut berisi pemberian persetujuan site plan kepada perusahaan.
SK Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang inilah yang dijadikan rujukan bagi Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Pandeglang mengeluarkan izin lokasi pembangunan industri minuman ringan PT. Tirta Fresindo dengan Nomor 503/Kep.02-BPPT/2014 tertanggal 30 Januari 2014.
Dari situ, baru lah warga tahu pabrik didirikan untuk pengelolaan air minum kemasan. Dan, delapan mata air yang mengalir dari Gunung Karang ditimbun.
Sejak itu, gelombang protes hingga aksi demo dari petani, peternak, ulama, dan santri bermunculan.
Alasannya, Kecamatan Cadasari dalam kawasan resapan air dan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
Belakangan, pada 21 November 2014, bekas Bupati Pandeglang Erwan Kurtubi memutuskan menghentikan kegiatan investasi PT Tirta Fresindo Jaya lewat surat Nomor 0454/1669-BPPT/2014.
Keputusan bekas Bupati Pandeglang itu rupanya disokong DPRD Provinsi Banten yang mengimbau agar perusahaan menghentikan segala aktivitasnya.
Tapi apa yang terjadi? PT Tirta Fresindo, anak usaha Mayora Group, tetap melenggang tak peduli.
Salah satu warga, Sanusi, mengatakan perusahaan melanggar ketentuan soal perizinan.
“Soal kepemilikan lahan didatangi oleh rombongan calo tanah. Mereka datang ke perorangan terus dibeli lah. Kalau peruntukannya untuk industri kan bukan seperti itu pembebasannya. Mereka atur dulu perizinan, atur dulu AMDALnya dan sebagainya. Setelah sesuai, baru pembebasan lahan, ” ungkap Ustad Uci.
Ahmad Herwandi dari Koalisi Hak Atas Air mengatakan, proses perizinan dan pembangunan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya sebenarnya sudah bermasalah sejak 2014.
“Inikan dulu pernah ada pembekuan izin oleh bekas Bupati yang lama pak Erwan. Namun di tahun 2016 tanpa sebab, PT Mayora itu sudah beroperasi. Wilayah itu peruntukannya bukan untuk industri tetapi sebagai resapan air, itukan sudah melanggar Perda RT RW,” kata Ahmad Herwandi.
Hanya saja, Bupati Pandeglang Irna Narulita, tetap ngotot melanjutkan investasi air minum kemasan PT Tirta Fresindo Jaya atas nama pembangunan. Hal itu disampaikan Bupati Irna dalam coffee morning dengan Polda Banten di Pendopo Kabupaten Pandeglang, awal April 2016.
Pasca insiden 6 Februari 2017, perusakan dan pembakaran backhoe, persoalan izin PT Tirta Freshindo Jaya diambil alih Pemerintah Provinsi Banten.
Pemprov pun membentuk satgas yang dipimpin Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Banten, Hudaya Latunconsina.
Tugas satgas itu menganalisa perizinan yang dikantongi anak usaha Mayora Group ini, serta dampak lingkungannya.
“Surat dari provinsi kan belum terbit. Diharapkan tadinya hari ini terbit tetapi saya dapat tugas dari Bappenas dan Kemendagri. Kalau bisa kita dorong besok pak gubernur bisa tandatangan. Persoalan air itu persoalan yang berbeda, pengaturan air diatur oleh negara dan tidak boleh dikuasai oleh pelaku usaha," kata Hudaya Latuconsina.
Menurut Hudaya, dari hasil rapat bersama yang dihadiri perwakilan Pemkab Pandeglang, Pemkab Serang dan beberapa SKPD pada 20 Februari 2017, diputuskan untuk menghentikan proses pembangunan pabrik.
Kata dia, hasil kajian bersama antara Pemkab Pandeglang dan Serang ditemukan adanya pelanggaran terkait penguasaan air oleh korporasi yang dilarang UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Selain itu, pendirian pabrik juga dinilai melanggar tata ruang dan wilayah karena kawasan tersebut diperuntukan untuk pertanian.
Sementara itu, Juru Bicara PT Mayora Group, Sribugo Suratmo, mengaku pasrah dengan apapun keputusan pemerintah daerah.
“Nanti saya cek, saya tidak tahu informasinya. Kedua, itu pabrik baru belum beroperasi full, baru pembangunan. Kalau memang tidak diizinkan resmi dan segala macam ya sudah,”ungkap Sriboga
Warga pun berharap, hak atas air bersih bisa dilindungi negara sehingga lahan pertanian di kaki Gunung Karang bisa tetap terjaga.
Sanusi berharap, pabrik dibongkar dan mata air mereka dikembalikan normal
“Maunya dibongkar saja pabrik itu dibongkar dan jangan dikasih izin,”pungkas Sanusi.
Penulis: Yudi Rachman/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)