Ditawari Jabatan di MPR, GKR Hemas: Bukan Jabatan yang Saya Cari
Pascakisruh yang terjadi 3 April 2017 lalu di DPD RI, semua fasilitas negara diambil dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pascakisruh yang terjadi 3 April 2017 lalu di DPD RI, semua fasilitas negara diambil dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Permasuri Yogyakarta ini mengaku tidak kecewa atas fasilitas yang diambil.
GKR Hemas mengaku masih merupakan Wakil Ketua DPD yang sah dan kecewa terhadap proses politik yang terjadi di Dewan.
Dalam sebuah acara di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Pusat, Kamis (20/4/2017), ia mengaku tidak mengejar jabatan dan status.
Baca: GKR Hemas Cerita Soal Polemik DPD di Komnas Perempuan
GKR Hemas juga menolak tawaran jabatan di MPR yang ditawarkan salah seorang pimpinan wakil rakyat.
"Di DPR ada yang menegosiasikan saya untuk jabatan di MPR, saya menolak. Bukan saya menerima jabatan di DPD. Saya tidak mencari jabatan pak, bagaimana ini persoalan di MA diselesaikan dulu," ujar Hemas.
Pada 3 April llalu digelar sidang paripurna DPD RI, yang salah satu agendanya adalah pemilihan pimpinan baru DPD.
GKR Hemas dan sejumlah anggota serta pimpinan DPD lainnya menolak agenda pemilihan pimpinan baru.
Pasalnya peraturan DPD RI nomor 1 tahun 2016 dan 2017 yang mengatur soal masa jabatan 2,5 tahun, sudah dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).
Namun kelompok yang mengabaikan putusan MA itu memaksa agar pemilihan pimpinan dilaksanakan, hingga terjadi kekerasan terhadap sejumlah anggota DPD RI.
Pada acara tersebut akhirnya terpilih Osman Sapta Oedang (OSO) sebagai ketua DPD baru, dan pimpinan-pimpinan lama, termasuk GKR Hemas, disingkirkan.
"Apa yang diperlihatkan MA ini melanggar aturannya sendiri, sudah diterbikan. Saya juga kurang mengerti, istilahnya diadakan pemilihan kan berarti bertentangnan dengan MA, yang melantik juga wakil ketua MA," terangnya.
Ia menganggap orang yang saat ini mengklaim kepemimpinan DPD, adalah orang-orang yang tidak sah.
Mereka tentunya tidak berhak mengatur jalannya lembaga DPD, dan semua keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan, tidak akan sah.