Peneliti: Lebih Strategis Pasal Penodaan Agama Dicabut dari RUU KUHP
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah sedang membahas revisi KUHP dan bakal merevisi sejumlah pasal.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai jauh lebih baik jika asal 156a pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama direvisi atau dihapus.
Seperti diketahui, DPR dan pemerintah sedang membahas revisi KUHP dan bakal merevisi sejumlah pasal.
Apalagi revisi KUHP, menurutnya masih belum disahkan.
"Lebih strategis jika pasal tersebut dicabut dalam RUU KUHP yang sedang dibahas. Mumpung belum disahkan oleh DPR," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Rabu (10/5/2017).
Untuk itu ia mendorong para wakil rakyat untuk membahas mengenai keberadaan pasal itu untuk direvisi dan dihapus dalam revisi KUHP.
Namun jika tidak, imbuhnya, pasal penodaan agama ini bisa kembali diajukan kembali gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Memang pasal tersebut pernah diuji ke Mahkamah Konsitusi (MK) dan putusan MK tegas menyatakan bahwa Pasal 156a tidak bertentangan dengan norma-norma konstitusi.
Meskipun demikian bukan tertutup pintu bila ada bukti baru, kembali diajukan ke MK.
"Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk mengajukan pasal lainnya dengan mengajukan batu uji yang lain, pasal-pasal dalam konstitusi," katanya.
Sebelumnya Anggota Panitia Kerja (Panja) KUHP dari Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan Pasal 156a pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama dipastikan bakal dipertahankan atau tidak akan direvisi.
"Tidak ada rencana merevisi pasal itu," kata Anggota Panitia Kerja (Panja) KUHP dari Komisi III DPR, Arsul Sani melalui pesan singkat, Selasa (9/5/2017).
Adapun alasan pasal tersebut dipertahankan adalah karena pernah diuji ke Mahkamah Konsitusi (MK) dan putusan MK tegas menyatakan bahwa Pasal 156a tidak bertentangan dengan norma-norma konstitusi.
Sementara itu, alasan kedua adalah pasal tersebut dianggap masih dibutuhkan dalam situasi masyarakat yang majemuk. Pasal itu dianggap bisa menghindari kelompok masyarakat tertentu bertindak main hakim sendiri lantaran agamanya dinista atau dinodai.
"Jadi pasal ini merupakan social control tool atau sarana kontrol sosial terhadap kemungkinan adanya tindakan-tindakan anarkistis karena ketiadaan hukum yang mengatur penodaan atau penistaan terhadap suatu agama," ujarnya.