Majelis Ulama Indonesia: Sistem Khilafah Sudah Usang
"Kekhalifaan di dunia juga telah kehilangan legitimasi. Hilang sejak masa Ottoman terakhir di Turki. Jadi kita tidak relevan lagi bicara Khilafah."
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rencana pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah menjadi keputusan pemerintah seperti diumumkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Wiranto.
Menanggapi hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai ide pembentukan sistem Khilafah seperti selama ini disuarakan HTI tidak bisa lagi digunakan dalam sistem pemerintahan di negara mana pun.
Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan, kerangka politik Khilafah bertolak belakang dengan sistem demokrasi negara modern saat ini.
Menurutnya, kekhalifaan sudah kehilangan legitimasinya di dunia ini. Selain itu juga, tidak ada negara modern yang menggunakan sistem tersebut, bahkan di Timur Tengah.
"Kekhalifaan di dunia juga telah kehilangan legitimasi. Hilang sejak masa Ottoman terakhir di Turki. Jadi kita tidak relevan lagi bicara Khilafah," kata Ikhsan saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (15/5/2017).
Pada zaman Kesultanan Ottoman berakhir, sistem Khalifah juga sudah tidak digunakan lagi. Kesultanan ini pun pecahannya memisahkan diri dan membentuk negara-negara bagian.
"Mereka membentuk negara yang mempunyai batas teritori. Sudah kehilangan legitimasi internasional. Bahkan kalau dihidupkan, ya amat sulit. Jangankan di Indonesia, di suku saja sulit. Sudah ga ada lagi," katanya.
Begitu juga di Indonesia, Ikhsan menjelaskan sistem Khilafah tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Namun, jika hanya sebagai wadah pembelajaran dan sejarah, hal tersebut tentu tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah.
"Kalau Khilafah itu berkaitan dengan sistem negara berkebangsaan kita sudah final, tidak ada lagi gagasan yang di luar NKRI. Jadi sebagai negara, kita sudah selesai, jangan lagi ada pemikiran atau ide yang ingin mengubah NKRI," katanya.
Ikhsan menambahkan, dari pengamatan sementara MUI, sebenarnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum menunjukkan ancaman dalam perspektif syiar agama dan dakwah. Hanya saja, yang patut dikhawatirkan adalah apakah ada agenda mendirikan sistem Khilafah di Indonesia.
Oleh karenanya, lanjut dia, MUI tengah membuka kajian khusus membahas HTI dengan menghadirkan sejumlah ahli dari luar, seperti pakar organisasi dan ahli sosiologi.
"Yang kita curigai dan waspadai, apakah yg dimaksud dengan Khilafah di HTI itu hendak membangun negara yang di luar NKRI," katanya.
Langkah pembubaran kepada HTI harus melewati proses peradilan. Sebelum ada keputusan, lanjut dia, pemerintah tidak boleh membubarpaksakan HTI karena akan berdampak buruk pada sistem demokrasi.
"Kalau namanya pembubaran organisasi, juga harus ada terapinya, ada ketentuannya. Yaitu UU Ormas UU 17 tahun 2013. Kan itu menyangkut hak berserikat, berkumpul, dan berorganisasi yang legal. Jadi kalau pemerintah membubarkan HTI, yang harus dilakukan adalah dengan cara yang baik," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan kajian untuk menggugat HTI ke pengadilan. HTI dianggap menyebarkan sistem Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.