Sengketa Tanah Berkepanjangan, Inilah Rumitnya Kepemilikan Lahan di Pulau Pari
Sengketa lahan antara warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu dengan PT Bumi Pari Asri terjadi sejak 1987. Selama itu pula pulau surga ini tercerai-berai.
TRIBUNNEWS.COM - Sengketa lahan antara warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dengan PT Bumi Pari Asri terjadi sejak 1987.
Selama itu pula pulau surga ini tercerai-berai lewat penarikan girik warga dan proses jual beli yang sumir. Warga pun bertahan hidup di tengah ketidakpastian lahan. Bagaimana rumitnya kepemilikan lahan di pulau ini?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Malik lahir di Pulau Pari setengah abad yang lalu dan tumbuh dewasa di sini. Sudah empat generasi keluarganya tinggal di pulau dengan pasir putih ini, sampai tiba-tiba PT Bumi Pari Asri mengklaim rumahnya dan juga seluruh pulau.
“Saya dari tahun 1966 di Pulau Pari. Tahu seluk beluknya. Makanya saya suka sewot kalau ada mengaku-ngaku pemilik pulau. Berarti tanah nenek saya ke mana? Bangunan sekolahan oleh pemerintah ke mana?” kata Malik dengan geram.
PT Bumi Pari Asri mengklaim 90 persen pulau, sementara 10 persen sisanya milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Rumah 300-an keluarga, pantai Pasir Perawan, termasuk sekolah dan dermaga, semua ikut diklaim perusahaan lewat Hak Guna Bangunan (HGB).
Tetapi, warga Pulau Pari mengaku memiliki girik dan menunjukkan bukti pembayaran pajak PBB pada saya. Namun pada 1987 kelurahan menariknya untuk pemutihan.
Sial karena girik itu tidak pernah kembali hingga muncul klaim kepemilikan oleh PT Bumi Pari Asri. Pendamping warga dari LBH Rakyat Banten, Tigor Hutapea, menduga Badan Pertanahan Negara (BPN) Jakarta Utara bermain ketika menerbitkan sertifikat untuk perusahaan.
“Kami menduga, sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN Jakarta Utara itu bermasalah secara hukum. Pertama ini didasarkan oleh klaim pihak perusahaan bahwa mereka mengatakan memiliki hak milik dan hak guna bangunan. Nah berdasarkan UU Pokok Agraria pasal 21, sebuah perusahaan itu tidak bisa memiliki hak kepemilikan. Dia hanya bisa mendapat hak guna usaha dan hak guna bangunan," terang Tigor.
Dalam peta online BPN, Pulau Pari terlihat terbagi-bagi antara hak guna bangunan dan hak milik. Ada hampir 50 lahan dengan Surat Hak Milik dan sekitar 10 lahan dengan Hak Guna Bangunan.
Beberapa lahan ini berada di area timur dan utara pulau yang berupa lahan kosong dan hutan. Dari seluruhnya, tak satupun yang dimiliki warga.
Namun Kepala BPN Jakarta Utara, Kasten Situmorang, mengatakan ada 80 Sertifikat Hak Milik. Semuanya bergabung menjadi konsorsium yang memiliki HGB.
“Perusahaan tidak punya Sertifikat Hak Mmilik. Mereka hanya bisa punya Hak Guna Bangunan. Kalau di atas HGB tidak bisa,” klaim Kasten.
Perusahaan sendiri berpegang pada HGB itu. Juru Bicara PT Bumi Pari, Asri Endang Sofyan, menyatakan konsorsium adalah pemilik sah pulau.
Akan tetapi, ketika KBR minta diperlihatkan sertifikat, Endang mengaku tak memegang.
“Yang punya Pulau Pari ini ya warga-warga yang punya sertifikat hak milik. Jumlah 80 orang. Kalau PT Bumi Pari Asri hanya hak bangunan saja,”ujar Endang.
Dia mengklaim, 1980-an ada proses jual beli tanah kepada pegawai kelurahan bernama Amir. Amir kemudian menggaet Herman dari Perhimpunan Wisata Pulau Seribu. Keduanya sepakat membangun konsorsium. Namun pihak kecamatan sendiri tidak memiliki data jual beli itu.
“Itu semua terjadi puluhan tahun lalu. Yang jelas sekarang PT Bumi Pari Asri sudah punya hak untuk membangun. Ya warga kan tidak punya bukti lagi,” ujar Camat Kepulauan Seribu Selatan, Agus Setiawan.
Setelah perusahaan mengklaim pulau, mereka meminta warga membayar sewa lahan kepada perusahaan. Tak sampai lima warga kini telah membayar sewa.
Seperti Ujang Jabar, yang menyatakan sertifikat milik neneknya sudah dijual pada 1990-1992 kepada pegawai kelurahan bernama Amir. Menurutnya, sejumlah warga yang saat itu memiliki sertifikat membentuk satu konsorsium yang kemudian jadi PT Bumi Pari Asri.
“Bahasa kasarnya mengangkangi tanah orang. Tapi bagaimana caranya perusahaan ini bisa menjual atau kredit kepada masyarakat. Itu saja,” tutur Ujang.
Dia pun mengaku sudah membayar sewa sejak Januari kemarin. Harganya, Rp.1228 per meter persegi per bulan untuk rumah. Dia juga mendorong warga mengikuti jejaknya.
Hingga pada Maret lalu, warga bertemu dengan perusahaan dan pemerintah di Pulau Lancang. Meski tidak ada kesepakatan, pemerintah tetap mengumumkan tujuh poin. Salah satunya, warga bisa membeli lahan seharga NJOP Rp614 ribu per meter persegi.
Ketua RW 04 yang melingkupi seluruh pulau, Khatur Sulaiman, mengatakan NJOP di luar kemampuan nelayan. Sebaliknya, dia mengusulkan pembagian pulau.
Rumah dan Pantai Pasir Perawan yang sejak awal dikelola warga menjadi milik warga. Sementara setengah pulau bisa dibangun resort.
“Jangan usik pemukiman warga yang sudah ada. Ikon wisata yang sudah dikembangkan masyarakat, ini jadi wilayah kelola masyarakat. Kalau mau membangun, silakan membangun di lahan-lahan yang kosong,” tegas Khatur Sulaiman.
Pulau Pari memiliki luas 42 hektar. Dengan memiliki setengahnya, PT Bumi Pari Asri bisa membangun resort besar, seperti resort di Pulau Tengah yang seluas 23 hektar.
Tetapi warga minta agar izin pengelolaan Pantai Pasir Perawan diakomodir mereka. Tapi ditolak pemerintah setempat. Hingga belakangan, tiga pengelola pantai ditangkap dengan tuduhan pungli.
Warga bersama LBH Rakyat Banten, belakangan melaporkan dugaan maladministrasi penjualan Pulau Pari ke Ombudsman juga Kantor Staf Presiden. Sialnya, sampai saat ini belum menemukan titik terang. Dan selama itu pula, warga hidup dalam ketidakpastian.
Penulis : Rio Tuasikal / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)