11 Tahun Berlalu, Negara Belum Akui Bencana Lumpur Lapindo Langgar HAM
Hasil audit HAM atas tanggungjawab negara dan perusahaan, upaya pemulihan korban dampak semburan lumpur panas Lapindo dinilai gagal.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tepat hari ini, Senin (29/5/2017) semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur berusia 11 tahun.
Hasil audit HAM atas tanggungjawab negara dan perusahaan, upaya pemulihan korban dampak semburan lumpur panas Lapindo dinilai gagal.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, berlarutnya penanganan dampak semburan lumpur panas Lapindo seharusnya menjadi ajang refleksi negara dan perusahaan.
Terlebih dengan dibubarkannya Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 tahun 2017.
Menurutnya, setelah BPLS dibubarkan, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah mengubah leading sector penanganan bencana lumpur Lapindo dari urusan infrastruktur menjadi urusan geologi dan drilling petroleum.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran utuh tentang raut bawah permukaan tanah.
"Sebab melalui data inilah pemerintah dan PT Lapindo Brantas mendapatkan data akurat untuk membuat kalkulasi dan penanganan semburan lumpur secara lebih permanen, atau aspek-aspek pencegahan meluasnya bencana dapat dimitigasi dengan baik," kata Nurkhoiron dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM Jakarta Pusat.
Lebih lanjut kata Nurkhoiron, pemerintah juga belum kunjung menentukan musibah yang terjadi pada 29 Mei 2006 lalu, masuk dalam kategori bencana atau tidak.
Dampaknya, warga yang menjadi korban kehilangan haknya.
"Negara harus mengambil langkah-langkah tegas dan efektif untuk memulihkan hak-hak korban bencana. Sayangnya, negara tidak mengakui baik sengaja maupun tidak bahwa bencana ini telah menimbulkan proses pelanggaran hak asasi manusia," kata Nurkhoiron.
Hasil audit yang dilakukan ada sejumlah hal yang berpotensi melanggar HAM.
Salah satunya karena belum adanya instrumen hukum yang solid bagi upaya penegakan hukum terhadap bisnis korporasi yang telah membawa dampak pelanggaran HAM.
"Pada tahun 2006 ketika terjadi luberan lumpur di BJP-1 Sidoarjo, negara tidak memiliki perangkat kebijakan tentang penanggulangan bencana," kata Nurkhoiron.
Lebih lanjut, Komnas HAM juga mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah efektif.
Salah satunya dengan membuat rencana aksi nasional pengelolaan bisnis dan juga memastikan agar korporasi taat kepada norma HAM.
"Mengambil langkah efektif untuk membuat rencana aksi nasional pengelolaan bisnis dan hak asasi manusia untuk memastikan korporasi taat pada norma hak asasi manusia dan tersedianya kepastian hukum bagi usaha-usaha korporasi/bisnis lainnya agar dapat menjalankan aktivitasnya," kata Nurkhoiron.