Dilema Karst Pangkalan Karawang : Tutup Penambangan Atau Menjadi Wisata Alam
Tambang batu kapur di Pangkalan, Karawang, telah menjadi sumber penghidupan warga setempat sejak puluhan tahun.
TRIBUNNEWS.COM - Tambang batu kapur di Pangkalan, Karawang, telah menjadi sumber penghidupan warga setempat sejak puluhan tahun.
Namun, penambangan itu terancam ditutup sejak pegunungan kapur Pangkalan ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
Terlebih, rusaknya karst akibat tambang dituding menjadi penyebab banjir bandang di sana pada 2014 silam.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Asap hitam tebal menyelimuti jalan utama Desa Taman Sari, Kecamatan Pangkalan, Karawang.
Asap ini rupanya berasal dari ratusan tungku pembakaran batu kapur atau disebut lio yang menggunakan ban bekas sebagai bahan bakar.
Pusat pembakaran batu kapurnya sendiri berada di Kampung Pakapuran. Jarak antara satu tungku ke tungku lain, hanya ratusan meter.
Sekretaris Desa Taman Sari, Dedi mengakui polusi udara ini adalah dampak nyata dari tambang rakyat.
“Memang keluhannya, terutama, kita kalau mengendarai kendaraan, ini kalau hujan turun, lewat di jalan itu susah, gelap. Lewat pun orang-orang luar kan, bahasanya seperti itu, pakai motor, langsung hitam, pas asapnya turun ke jalan, itu dampaknya yang dirasakan langsung,”ungkap Dedi.
Dedi juga mengakui, banyak warganya yang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) akibat menghirup udara kotor setiap hari.
“ISPA banyak. Tapi sudah biasa mungkin ya, dia sudah enjoy aja, nggak merasakan. Kalah oleh perut, keluhan sih kadang kala ada, diakui, cuma alhamdulillah kita kan ada dari tim kesehatan, puskesmas, sekian bulan sekali kontrol, masyarakatnya,”ujar Dedi.
Tapi bagi Baret warga Desa Taman Sari yang juga penambang batu kapur, ancaman kesehatan tak begitu penting. Toh katanya, ia tak pernah mengalami keluhan apapun selama lebih dari 20 tahun menambang.
"Mungkin ya, dari nenek moyang tuh belum pernah ada yang kena penyakit, dari dulu juga, nggak kayak semen, kalau semen kan, banyak yang kena penyakit, kalau batu kapur saya rasa nggak ada. Paling cuma polusinya. Jadi orang yang dekat pembakaran biasa-biasa aja. Walaupun asapnya bagaimana juga, semacam gelapnya kayak apa, nggak kelihatan sama sekali ya tbloetap aja, orang sehari-hari di sini, di tungku, biasa aja, nggak ada kendala lah,"kata Baret.
Baret justru lebih khawatir, jika tambang batu kapur betul-betul ditutup. Sebab sudah pasti, ia kehilangan sumber penghidupan.
"Justru ada kendalanya kalau lokasi galian-galian batu kapur itu tutup, baru ada kendala, teriak semua, dikarenakan sehari-hari buat anak istrinya dari mana? Kalau bukan dari sini. apalagi pendidikan kurang, ijazah nggak punya, ke PT nggak masuk, kemana lagi? Selain dari ke batu kapur,"ungkap Baret.
Bukit batu kapur di Kecamatan Pangkalan luasnya mencapai 375 hektar.
Pada 2015, kawasan itu ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Itu artinya, semua penambangan di area tersebut harus dihentikan.
Sebab kawasan karst Pangkalan sebagai ekosistem resapan air alami harus dijaga dan dilindungi.
Maka kini, Pemerintah Karawang tengah bersiap mencari solusi untuk menutup seluruh penambangan. Salah satu solusi yang muncul, menyulap Pangkalan menjadi daerah wisata alam.
Sekretaris Desa Taman Sari, Dedi, mengatakan geliat pembangunan wisata mulai dilakukan. Misalnya wisata goa.
“Ada yang sudah mulai di sebelah sana, Citaman ada goa-goa, wisata goa, sekarang mulai ada tokoh masyakat, ada mata airnya di sana, sudah mulai membangun kolam renang, pemancingan, mungkin berawal dari situlah beranjak sedikit sedikit-sedikit, mudah-mudahan ke depan, kita juga menginginkan terbebas dari polusi ini, lihat aja itu, kita juga suka engap,”kata Dedi.
Sebagai kawasan karst, bukit-bukit kapur di Pangkalan memang memiliki banyak goa yang menyimpan tumpahan air hujan selama puluhan tahun.
Tapi keinginan menjadi objek wisata, masih belum sempurna. Sementara, wisata yang kini berjalan dikelola secara mandiri oleh warga. Dan ketika diminta membeberkan konsepnya pun, pemkab Karawang enggan.
Baret dan yang lain tak punya pilihan pun tak keberatan kalau harus pensiun sebagai penambang batu gamping. Asal, pemerintah menjamin adanya lapangan kerja bagi warga setempat.
"Kalau memang sudah ada perjanjian, komitmen itu ini, masyarakat kecil di sini mau dikasih lapangan kerja, silakan saja, silakan, lebih bagus itu intinya, kalau memang masyarakat sini mau dikasih lapangan kerja, nggak bakalan ada yang membantah. Kalau lapangan kerja nggak ada, apa nggak ada, ya tetap aja masyarakat kecil teriak, perut sih soalnya, sangkut pautnya,"ujar Baret.
Sementara, Kepala Urusan Ketentraman dan Ketertiban Desa Taman Sari, Adi Permana meminta pemerintah Karawang mematangkan rencana ini agar masyarakat bersedia beralih pekerjaan.
“Karena kan masyarakat di sini ini dapat uangnya itu setiap hari, bukan mingguan, bukan bulanan. Kalau nanti dialihprofesikan, seperti memang kalau jadi wisata, alih profesinya hanya ke properti? Kerajinan, akan menjadi beban buat masyarakat kami, dan masyarakat kami akan datang kemari ke desa, dan desa kan tidak punya kewenangan apa-apa, di situlah, mungkin akan perang sabil antara masyarakat dengan kami sebagai pegawai desa,”ungkap Adi.
Sedang, Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi Brahmantyo mendukung pengembangan wisata di Pangkalan. Gagasan ini dinilai tepat untuk menutup penambangan.
“Ya seharusnya kalau di KBAK nggak boleh, apalagi yang kemungkinan dengan goa, sungai bawah tanah atau mata air, dan kawasan-kawasan hulunya, yang diperkirakan akan mempengaruhi itu semua. Ketika sudah KBAK, pemerintah juga harus konsisten. Karena KBAK sebenarnya diminta oleh pemda,”ujar Budi.
Budi memaklumi kencangnya suara penolakan dari kelompok penambang rakyat. Namun, pengalihan menjadi daerah wisata bukan sesuatu yang mustahil.
Budi menyodorkan kisah suksesnya ketika menyulap kawasan penambangan Citatah, Bandung, menjadi wisata alam. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah konsistensi dan komitmen dari pemerintah daerah.
“Karena mereka belum kebayang, kalau pariwisata itu keuntungan dapat dari mana. Kasus di Citatah dulu juga sama, tahun 2000 saya berjuang untuk mencoba, ini punya potensi pariwisata, baru mereka sadar, tahun 2014, setelah 14 tahun itu yang namanya stone garden itu menjadi booming, dan itu dikelola oleh masyarakat kampung di situ,”tutup Budi.
Penulis : Ninik Yuniati / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.