Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Walau Sudah Lanjut Usia, Tuba Tetap Meminta Negara Minta Maaf

Tuba Bin Abdurahim adalah bekas tahanan politik yang sempat mendekam di kamp kerja paksa di Cikokol, Tangerang.

zoom-in Walau Sudah Lanjut Usia, Tuba Tetap Meminta Negara Minta Maaf
Eli Kamilah/KBR
Tuba Bin Abdurrahim, bekas tahanan politik peristiwa 1965/1966 yang dituduh terlibat pembantaian tujuh jenderal AD. 

TRIBUNNEWS.COM - Tuba Bin Abdurahim adalah bekas tahanan politik yang sempat mendekam di kamp kerja paksa di Cikokol, Tangerang. Kala muda, Tuba adalah anggota Pemuda Rakyat, organsiasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Dan ketika peristiwa G30S, Tuba dicari tentara dan dijemput di rumah orangtuanya di Brebes. Ia diinterogasi lalu disiksa. Bersama Jurnalis KBR, Eli Kamilah, Tuba menceritakan kisah kelam itu dan mendesak Negara meminta maaf karena memenjarakannya tanpa proses pengadilan.

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Tangerang, Banten, menyimpan kisah getir. Setengah abad silam, di salah satu kelurahan di Tangerang, Cikokol, ada ribuan tahanan politik peristiwa 1965/1966 yang dijebloskan ke kamp kerja paksa. Satu di antara ribuan itu, adalah Tuba Bin Abdurrahim.

Tuba usianya kini 71 tahun. Ketika muda, dia menjadi anggota Pemuda Rakyat, organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Setiap orang yang dicurigai dan diperiksa itu diindikasikan sebagai anggota PKI, Pemuda Rakyat, BTI dan Gerwani. Tuduhannya sebagai anggota Pemuda Rakyat yang aktif sebagai sukarelawan di Lubang Buaya,” terang Tuba.

Lubang Buaya terkenal karena di situlah, jasad para jenderal yang dituduh hendak mengudeta Sukarno ditemukan.

Berita Rekomendasi

Tapi, sebelumnya lokasi itu menjadi tempat berkumpulnya Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, untuk latihan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), bagian dari kebijakan konfrontasi Malaysia oleh pemerintah Sukarno atau dikenal Ganyang Malaysia.

Hal itu dikatakan Profesor dan sosiolog Universitas Amsterdam, Saskia Eleonora Wieringa, dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.

Hingga kemudian tersiarlah kabar pembunuhan terhadap tujuh jenderal Angkatan Darat. Seketika, PKI beserta organisasi underbow-nya ditunjuk sebagai dalangnya. Tuba pun, keras membantah tudingan itu.

“Saat itu militer sendiri. Jadi tidak ada keterlibatan sekali dari PKI atau buruh. Semua itu dilakukan tentara, baik itu tembak, lempar ke sumur. Jadi itu dilakukan tentara bukan sipil,” ujar Tuba.

Sejumlah anggota PKI dan organisasi di bawah payung PKI, kocar-kacir, dikejar, diburu. Tuba yang terunta-lunta di Jakarta, memutuskan pulang ke kampungnya di Brebes, Jawa Timur.

Namun, 16 November 1965, tentara menjemput Tuba di rumah orangtuanya.

“Ibu saya bengong. Nggak ada yang keluar dari kata-kata ibu saya. Dua hari sebelumnya saya sudah bilang ke ibu. Ibu saya bilang, jangan pokoknya mati hidup kamu sama ibu. (nangis) Yang saya inget kata-kata ibu saya. Melas Temen Anakku (kasian banget anaku),” kata Tuba.

Ketika menceritakan ulang, Tuba sempat tertunduk. Wajahnya muram. Apalagi kalau mengingat sang ibu. Sesekali dia menunjukkan pada saya ibu jarinya yang menghitam.

Kata Tuba, itu akibat ulah tentara saat menginterogasinya sembari menyiksa.

“Setiap ada pemeriksaan pasti pulangnya tidak pernah normal karena siksaan. Terutama banyak yang disilet. Apalagi waktu kongres Segemi, yang meriksa HMI,” ujar Tuba.

“Saya duduk di bawah meja. Tangganya ke atas. Itu buat asbak tangan saya. Diperiksa, alamat dimana, anggota apa, ada 50 pertanyaan. Tanggal 30 ada di mana. Ini tangan hitam masih saksi hidup jempol saya pakai stik drum band. Dua jempol sisanya,” tambah Tuba.

Saat diinterogasi, Tuba diboyong ke Kodim Utara depan Stasiun Jakarta Kota. Sekarang tempat itu berubah menjadi Taman Fatahillah.

Di Kodim, Tuba mendekam selama 20 hari. Dia ditanyai tentang keberadaannya saat 30 September 1965. Pertanyaan itu pasti disertai pukulan, sundutan rokok, dan gebukan stik drum.

“Saya tidak mau mengakui karena percuma saya mengaku. Tanggal 30 saya jualan koran di Pasar Baru,” ungkap Tuba.

Tuba lantas dijebloskan ke kamp tahanan politik di Tangerang tanpa proses pengadilan pada 1966.

“Kemungkinan setelah diseleksi saya masuk golongan C adalah anggota aktif. Kalau golongan A terlibat langsung, B tidak telibat langsung tapi kepemimpinan. Golongan C anggota yang aktif. Golongan C ini yang susah. Untuk diadili tidak ada fakta, untuk dibebaskan pemerintah takut. Yang sulit diidentifikasikan,” jelas Tuba.

Pada 1970, Tuba sempat dipindah ke Penjara Salemba Jakarta. Tapi kemudian dipindah lagi ke kamp Tangerang dengan alasan tenaganya dibutuhkan.

Meskipun itu tak lama. Sebab pada 1973 dia dikembalikan ke Salemba, sebelum akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada tahun yang sama. Barulah pada 1978, Tuba dibebaskan.

Sudah setengah abad lebih berlalu. Namun kenangan pahit mengenai tuduhan sebagai dalang pembunuhan tujuh jenderal, pemberontok, hingga dibui, mustahil dilupakan.

Pasca bebas pun, Tuba masih terseok-seok menjalani hidupnya. Bahkan, masyarakat sempat tak menerimanya karena berstatus Eks-Tapol.

Tuba dan korban lainnya kini berjuang menuntut keadilan. Mereka meminta negara minta maaf dan merehabilitasi para korban. Sebab mereka sama sekali tak terkait dengan kudeta ataupun pembunuhan tujuh jenderal. 

“Saya sebagai korban menempatkan kepada generasi muda, meletakan harapan bahwa sejarah kelam selama 50 tahun bukan hanya sebagai pengetahuan. Tapi dijadikan sebuah pelajaran yang sangat berharga, guna mencegah keberulangan dan keberadaban,” tutup Tuba.

Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas