Kasus Korupsi Heli AW-101 Penuh Aroma Politik
"Apalagi ada banyak wacana yang menginginkan Panglima TNI saat ini ikut serta dalam Pemilu 2019."
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana dari Universitas Diponegoro Semarang Suparji mengatakan, kasus korupsi pengadaan helikopter jenis AgustaWestland 101 penuh dengan muatan politik.
Menurutnya, korupsi heli AW-101 tersebut merupakan bentuk persaingan tradisional antara Angkatan Darat dan Angkatan Udara dalam perebutan posisi tertinggi Panglima TNI.
"Apalagi ada banyak wacana yang menginginkan Panglima TNI saat ini ikut serta dalam Pemilu 2019. Kemudian persaingan dalam perebutan posisi Panglima TNI."
"Kasus ini sepertinya diarahkan untuk mencari investasi dukungan publik. Memang belum terbukti, tapi ketika coba kita cocok-cocokkan faktanya ada," ungkap Suparji.
Hal itu disampaikannya di tengah diskusi kelanjutan kasus korupsi heli AW-101 yang diadakan Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) di Hotel Ibis, Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Rabu (7/6/2017).
Pengamat anggaran, Ucok Sky Khadafi mengatakan helikopter AW-101 awalnya dipesankan sebagai kendaraan VVIP bagi presiden.
"Tetapi Presiden tidak mau karena beliau masih mau menggunakan helikopter Super Puma. Karena alasan itu Angkatan TNI AU memesannya sebagai alat angkut," ujarnya.
Pengadaan helikopter AW-101 iji ditengarai mengandung unsur korupsi dengan dakwaan upaya memperkaya diri sendiri.
Hingga saat ini Polisi Militer (POM) telah menetapkan tiga tersangka yakni Marsma TNI FA, Letkol WW, dan Pelda SS yang disebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 220 miliar.