Korban Tragedi Mei 98: HAM Bukan Cuma Janji!
Di pengujung Mei, LSM Kontras menggelar acara Ngabuburit, Putar Balik, sebagai peringatan Tragedi Kerusuhan 1998.
TRIBUNNEWS.COM - Di pengujung Mei, LSM Kontras menggelar acara Ngabuburit, Putar Balik, sebagai peringatan Tragedi Kerusuhan 1998.
Di sana, Kontras meluncurkan buku tentang pembelaan mereka sejak 19 tahun silam hingga sekarang. Juga menjajakan lapak karya penyintas.
Seperti apa lapak itu dan apa yang ingin mereka suarakan? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Penghujung Mei, atau bulannya peringatan Tragedi Kerusuhan 1998, di sebuah kafe di Jakarta Pusat, Tjikini Lima, berlangsung gelaran Ngabuburit, Putar Balik.
Penggagasnya Kontras, LSM yang sejak lama mendampingi para korban serta keluarganya dalam menagih keadilan hukum dan membantu penghidupan ekonomi mereka.
Seperti judul acaranya, sore itu Kontras meluncurkan buku Bahan Advokasi Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri, mengatakan buku ini merangkum seluruh pembelaan mereka sejak 19 tahun silam hingga kini.
“Tahun ini kan Kontras berusia 19 tahun. Artinya bersamaan dengan reformasi juga. Nah selama 19 tahun itu kami sudah banyak melakukan advokasi untuk membela hak-hak korban. Menjadi keadilan untuk korban itu menjadi rutinitas. Selama itu sudah banyak keberhasilan, kegagalan, dan tantangannya. Buku ini disusun dalam periode 2009 sampai 2017,” ungkap Puri.
Tapi jalan membela para korban pelanggaran HAM, kerap gelap. Tragedi Kerusuhan Mei 1998 misalnya, sudah 19 tahun berlalu tapi pelaku utamanya belum juga dibawa ke pengadilan. Padahal korbannya mencapai ratusan.
Beberapa petinggi TNI kala itu, seperti Wiranto, diduga bertanggungjawab lantaran posisinya sebagai Panglima ABRI. Dan untuk memastikan hal itu, Komnas HAM, sebagai lembaga yang menyelidiki, pernah memanggilnya. Tetapi Wiranto tak pernah memenuhi.
Sekarang, dia malah duduk di pemerintahan sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
Kian malam, kafe makin ramai. Ratusan orang memenuhi ruangan. Di bagian depan kafe, karya para penyintas dan keluarga korban dijajarkan di atas meja.
Ada tempat pensil, bros, tas rajut, juga hiasan yang terbuat dari lintingan kertas koran. Harganya bervariasi, mulai dari 30 ribuan hingga di atas 100 ribu.
Puri Kencana Putri, mengatakan para penyintas dan keluarga korban tergabung dalam Paguyuban Mei 98. Paguyuban ini pun dibentuk sejak tahun lalu. Sejak itu pula, mereka membuat prakarya berbahan jin. Jumlahnya sudah 500-an.
“Kita nggak mau korban stuck, frustasi bahwa perjuangan mereka tidak ada artinya. Kita ingin pesan-pesan yang ada pada mereka disampaikan kepada publik,” ujar Puri.
Saat ini, karya mereka hanya dijajakan saat Kontras berkegiatan. Hasil penjualannya, menjadi milik penyintas. Biasanya akan digunakan untuk proses advokasi atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Minarni, salah satu penyintas. Dia datang bersama rombongan keluarga korban lainnya. Perempuan bersusia 43 tahun ini, membawa serta putranya.
Dia bercerita, saat kerusuhan menyambar ke Jakarta Timur dan api menyulut Mal Klender, adiknya mati terpanggang di dalam.
“Saya berusaha kejadian itu saya nyari. Sampai dua hari dua malam saya nyari, sampai sekarang nggak ketemu. Emang dia ada di situ, kakinya kejepit, kejebak di lift, ya nggak bisa berkutik kan liftnya mati,” ungkap Minarni.
Dalam seminggu, Minarni mengungkapkan, ia sanggup membuat 50 buah. Karya seperti tempat pensil, ia hias dengan renda dan mutiara. Di bagian depan, ada tulisan seputar Hak Asasi Manusia. Misalnya, HAM Bukan Cuma Janji.
“Kerajinannya itu semacam tempat pensil. Misalnya Rebut Demokrasi, Aksi Diam Kamisan. Hukuman Mati Bukan Keadilan, HAM Bukan Cuma Janji. Negara Harus Melindungi, Bukan Menyiksa,” ujar Minarni.
Minarni juga mengatakan, karya ini dibuat sebagai pengingat dirinya bahwa kasus sang adik belum selesai. Juga agar pemerintah menunaikan tugasnya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Awalnya habis gimana ya, pemerintah nggak peduli sama korban. Jadi kita sambil ini, sambil kita iseng buat ini. Biar pemerintah itu tahu, oh iya keluarga korban itu ada semangat untuk memperjuangkan,” kata Minarni.
Hal yang sama dirasakan keluarga korban lain, Herwin Wayuningsih. Herwin datang bersama anak dan suaminya. Dia adalah keluarga Iwan Santoso, yang tewas terpanggang di Mal Klender. Saat itu usia Iwan 19 tahun.
Bagi Herwin dan keluarga, kehadirannya dalam setiap kegiatan Tragedi Kerusuhan 1998, adalah bentuk dukungan terhadap sesame keluarga korban lainnya.
Sembari terus menggelar acara serupa setiap tahun, Kontras masih menyimpan harapan kalau suatu saat pemerintah membentuk Komisi Kepresidenan yang akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
“Dari semua ronde panjang advokasi, problemnya selalu buntu di Kejaksaan dan Komnas HAM. Kita membuat terobosan, bahwa negara harus mengambil sikap. Bagaimana negara harus mengambil sikap jelas, salah satunya yakni membentuk Komisi Kepresidenan,” ujar Herwin.
Puri berujar Komisi Kepresidenan yang berada di bawah presiden, penting untuk proses penyelesaian.
Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)