Mahfud MD Bernostalgia Lebaran di Kampung, Absen Jadi Khatib
Meskipun mengaku setiap lebaran dirinya mudik ke Madura tetapi Mahfud mengaku lebaran tahun ini agak berbeda.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD tampak dalam jubelan orang yang ke luar dari pintu bandara Juanda di Surabaya kemarin (23/6/2017) sekitar jam 17:30.
Mahfud tampak ditemani oleh isterinya Zaizatun Nihayati, putera sulungnya Ichwan Zein, menantunya Ukhti Jamil, dan dua cucunya Irada dan Majda.
Dua anak Mahfud yang lain, Royhan Akbar dan Vina Amalia serta suaminya Angga Fiandana, sudah menunggu Mahfud di Surabaya.
“Mau lebaran di kampung. Selain ahlul sunnah waljamaah saya ini juga ahlul mudik wal makan keripik," paparnya kepada Tribunnews.com yang dihubungi lewat telepon selulernya saat dalam perjalanan menuju kampung halamannya di Madura.
Mahfud mengatakan setiap tahun keluarganya mudik kalau lebaran.
Hari pertama biasanya berlebaran di rumah keluarga besar Bani MD di Madura, sehari berikutnya ke keluarga isterinya di Jember, dan setelah itu ke rumah pribadinya di Yogyakarta.
Meskipun mengaku setiap lebaran dirinya mudik ke Madura tetapi Mahfud mengaku lebaran tahun ini agak berbeda.
Maklum, dapat dikatakan selama 16 tahun terakhir ini Mahfud MD tidak salat ied di Madura karena menjadi khatib salat ied di berbagai tempat.
Pada Idul Fitri tahun 2016 yang lalu misalnya, Mahfud sudah tiba di rumah ibunya, Siti Hadidjah, di Madura dua hari sebelum hari H tetapi pada malam hari raya harus terbang ke Jakarta karena menjadi khatib di Kantor Kemensos atas undangan Mensos Khofifah Indarparawansa.
Setelah memberi khuthbah hari raya di Kemensos, saat itu, Mahfud langsung terbang lagi ke Surabaya dan langsung sungkem pada ibunya di Madura.
Harian Kompas edisi edisi 23 September 2009 menulis, menjadi khatib salat ied sudah rutin dijalani Mahfud sejak tahun 1994.
Mahfud MD juga selalu dijadwalkan untuk memberi khuthbah salah Jumat maupun taraweh di Masjid Istiqlal dan Masjid Al-Azhar Jakarta.
Kemampuan Mahfud MD untuk berkhuthbah dan mengisi ceramah agama ditopang oleh perjalanan pendidikannya yang dimulai dari pondok pesantren.
Sejak berumur 8 tahun Mahfud sudah menjadi santri di pondok pesantren Almardhiyyah, Waru, Pamekasan. Pendidikan formalnya di sekolah-sekolah negeri selalu dirangkap dengan sekolah agama atau madrasah diniyyah.
“Makanya saya menghimbau agar madrasah diniyah dibina, jangan sampai punah karena pemerintah keliru mengatur. Madrasah diniyyah itu sangat baik”, katanya.
Hampir setiap tahun Mahfud selalu berkhutbah hari raya di berbagai tempat seperti di Masjid Al-Azhar, Kampus UI Rawamangun, Kampus UGM Bulaksumur, Masjid Almarkaz Makassar, Mesjid Agung Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Madura, dan berbagai tempat lain.
Tapi tahun 2017 ini Mahfud memilih tak berkhuthbah.
“Tahun ini saya menolak semua permintaan menjadi khatib ied karena saya ingin bernostalgia salat di kampung, tempat saya salat ied ketika remaja dulu." katanya.
Yang terpaksa kecewa karena Mahfud menolak untuk menjadi khatib salat ied tahun ini misalnya Jamaah Masjid Bank Indonesia, kaum muslimin di kompleks Pondok Indah, Bantul, Bekasi, dan sebagainya.
Mahfud mengaku sudah merindukan getaran hati bertakbir hari raya dan salat ied dengan suasana kampung.
“Kalau di kampung terasa sangat mengharukan, menggetarkan, dan begitu dekatnya rasa persaudaraan antar keluarga dan tetangga”, katanya.
Mahfud mengatakan yang paling mengesankan kalau berhari raya dengan keluarga besarnya adalah ketika berbuka Ramadhan hari terakhir atau di malam hari raya sambil lesehan.
“Kadang saling berebutan sambal terasi yang aromanya sangat memancing selera”, katanya sambil tergelak. Besoknya setelah salat ied bisa bercengkerama dengan keluarga besar sambil makan rujak dan keripik Madura untuk kemudian berziarah dan bersilaturrahim dengan saudara-saudara. “Sungguh menyenangkan”, kata Mahfud memungkasi pembicaraan.