Tolak UU Pemilu, SBY dan Prabowo Didorong Untuk Gugat Ke MK
Jokowi mengingatkan bahwa undang-undang atau Perppu pun harus disepakati bersama antara pemerintah dan DPR.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yang jelas Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menolak tegas UU Pemilu terutama terkait dengan Presiden Threshold 20 persen kursi dan 25 persen suara.
Hal itu yang menurut Pengamat Politik Sebastian Salang menjadi penegasan dalam pertemuan SBY dan Prabowo di Cikeas, Kamis (27/7/2017) malam lalu.
Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ini, perbedaan pendapat bahkan perbedaan sikap antar tokoh maupun partai di alam demokrasi adalah hal wajar. Dan perbedaan itu sudah biasa terjadi di alam demokrasi Indonesia.
Karena itu Sebastian Salang mendorong, SBY dan Prabowo memakai mekanisme “Judicial Review” atau hak uji materil terhadap UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jika tidak setuju dengan pasal dalam suatu UU ajukan gugatan ke MK. Inilah cara dan jalan demokratis yang kita tempuh. Demikian juga halnya dengan UU Pemilu," ujar Sebastian Salang kepada Tribunnews.com, Senin (31/7/2017).
Lebih lanjut Sebastian Salang menilai terlalu bombastis dan mendramatisir pernyataan SBY dan Prabowo terkait kekuasan tidak boleh berjalan tanpa kontrol sampai abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Menurutnya, SBY dan Prabowo sebagai tokoh politik di Indonesia mestinya lebih bijaksana dalam menyatakan sesuatu hal.
Apalagi itu dikaitkan dengan keputusan politik DPR RI di Rapat Paripurna terkait ambang batas pencalonan presiden (presiden threshold) 20 persen kursi dan 25 persen suara.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ini menegaskan pula, keputusan dalam UU Pemilu itu bukanlah hal yang baru. Ketentuan itu sudah dipraktekkan selama dua kali pemilu.
"Pernyataan Pak SBY dan Prabowo terlalu bombastis dan terlampau mendramatisir. Misalnya, kekuasaan tidak boleh berjalan tanpa kontrol sampai abuse of power.
Kedua irang itu adalah pemimpin di Indonesia mestinya lebih wise," ujarnya.
Bedanya, jelasnya, sebelumnya Pemilu Legislatif dan Pilpres berbeda. Sedangkan sekarang Pileg dan Pilpres serentak, sehingga ketentuan itu tidak relevan. Hanya itu perbedaannya.
"Jadi, tidak ada yang sangat berbahaya dari ketentuan itu," tegasnya.
"Tinggal MK nanti yang memutuskan.