Kisah Pembelot Korea Utara Yang Memperlihatkan Kehidupan Mereka Lewat Komik Online
Seorang pengungsi dari negara tertutup menceritakan kisah perjalanan dan transisi sulit yang dialami orang Korea Utara selama hidup di Korea Selatan.
TRIBUNNEWS.COM - Perjalanan melarikan diri dari Korea Utara menuju kebebasan di Korea Selatan adalah hal yang berat dan mengerikan. Tapi, seorang pengungsi dari negara tertutup itu mencoba melihat dari sisi yang lain. Dia menyisipkan humor dalam perjalanan dan transisi sulit yang dialami rekan se-negaranya dalam komik online.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Ada desas-desus bahwa beberapa bagian dari Film Lion King dibuat di tempat yang tidak mungkin terpikirkan, yakni Korea Utara.
Choi Seong-gok, 37 tahun, pernah bekerja sebagai animator untuk sebuah studio di Pyongyang.
“Kami membuat versi Lion King, Pocahontas dan animasi Titanic kami sendiri. Saya kira rumor tentang ada studio yang bekerja untuk Disney ini beredar karena film-film ini,” tutur Choi.
Di sebuah negara di mana semua seni harus melayani sebuah agenda politik, dia mendapat pujian dari para guru atas karyanya. Saat itu dia membuat gambar para tentara Amerika yang jahat.
Dia bilang triknya adalah membuat tentara Amerika itu terlihat seburuk dan sekejam mungkin. Sekarang dia menertawakan karya itu karena merasa sedang dicuci otak.
Menurut Choi kehidupannya di Pyongyang menyenangkan. Bekerja sebagai animator bagi pemerintah adalah sebuah pekerjaan impian. Para karyawan menerima hadiah seperti gula, daging sapi dan kulkas.
Sampai kemudian dia mendapat masalah dengan pihak berwenang karena menyimpan DVD Korea Selatan yang dilarang. Choi mencoba melarikan diri ke Tiongkok tapi tertangkap dan dimasukkan ke sebuah kamp kerja paksa.
Akhirnya tahun 2010, dia berhasil sampai ke Korea Selatan dan sekarang tinggal bersama ibunya yang juga membelot.
Ada sekitar 30 ribu pengungsi Korea Utara di Korea Selatan. Mereka menghadapi masalah perbedaan budaya dan bahkan bahasa. Ini membuat proses adaptasi berjalan sulit.
Bagi Choi, salah satu hal yang paling menonjol adalah berbedanya antara kartun di negara asalnya dan Korea Selatan.
“Ketika saya pertama kali melihat kartun Korea Selatan, saya tidak paham. Tidak ada cerita tentang patriotisme atau penangkapan mata-mata atau perang. Mereka seperti tidak ada artinya bagi saya,” kata Choi.
Setelah enam tahun tinggal di Korea Selatan, Choi mulai membuat serial komik strip satir onlinenya sendiri. Namanya Rodong Shimmun.
Kartun itu bercerita tentang sekelompok pengungsi Korea Utara yang baru tiba di Korea Selatan.
Mereka ini harus tinggal di pusat integrasi yang dikelola pemerintah selama bulan-bulan pertama. Aturan ini berlaku bagi semua pembelot.
Dalam komik itu, Choi menertawakan para pendatang baru. Seperti rasa terkejut mereka tentang makanan di restoran prasmanan. Atau saat berkunjung ke salah satu gedung tertinggi di Seoul. Diceritakan beberapa karakter bahkan takut untuk pergi ke puncak.
Dalam salah satu cerita, dia memasukan salah satu pengalamannya yang memalukan.
“Suatu ketika, saya bertemu seorang perempuan Korea Selatan. Dia meminta nomor telepon dan mengatakan dia ingin menjadi teman saya. Saya entah bagaimana salah menafsirkan. Saya mengira dia ingin menikah dengan saya,” kisah Choi.
Dalam komik itu, perempuan tersebut menggunakan istilah yang lebih intim, yang biasa diucapkan di Korea Selatan. Dalam gelembung teks, Choi menjelaskan bagaimana itu menyebabkan kesalahpahaman.
Disebutkan di Korea Utara hanya pasangan romantis yang akan menggunakan kata itu. Sementara di antara teman-teman, menggunakan kata kawan.
Serial kartun online Choi dilihat puluhan ribu kali. Beberapa penggemar mengatakan ini membantu mereka memahami perbedaan budaya antara Korea Utara dan Korea Selatan. Yang lain menulis, sekarang mereka merasa lebih berempati terhadap para pembelot.
Choi merasa terdorong dengan kata-kata itu karena menurutnya banyak warga Korea Selatan tidak peduli dengan Korea Utara atau pembelot.
Tapi tidak semua orang menyukai komik itu. Choi mengaku mendapat tanggapan negatif dari sesama pengungsi Korea Utara.
“Beberapa pembelot bilang saya menggambarkan Korea Utara terlalu negatif, kalau kartun saya menyakiti harga diri mereka. Tapi, 90 persen bilang mereka menyukainya. Beberapa bahkan bilang jika orang-orang di Korea Utara melihat ini, mereka akan mengerti dengan lebih baik kehidupan di Korea Selatan,” kata Choi.