Wiranto Ingatkan Agar Masalah HAM Tidak Dijadikan Alat Politik
Setelah warga memutuskan untuk berpisah dari Indonesia, terjadi sejumlah insiden yang oleh pihak tertentu dianggap pelanggaran HAM berat.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengaku banyak belajar tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat masih menjabat sebagai Menhankam Pangab (Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI), pada tahun 1999 lalu.
Dalam pemaparannya di hadapan peserta Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) di Auditorium Lemhanas, Jakarta Pusat, Jumat (11/8/2017), Wiranto mengaku saat itu ia diberi tanggungjawab mengawal jalannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) warga Timor-Timur.
Setelah warga memutuskan untuk berpisah dari Indonesia, terjadi sejumlah insiden yang oleh pihak tertentu dianggap pelanggaran HAM berat.
"Waktu itu terjadi pelanggaran HAM berat di Tim-tim. Sebelumnya kita nggak tahu, apa sih, 'human right,' pelanggaran HAM berat itu kayak apa sih," katanya.
Ia mengaku sempat protes jika berbagai peristiwa yang terjadi pascalepasnya Tim-tim dari pangkuan ibu pertiwi dianggap sebagai pelanggaran berat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Baca: Wiranto Temui Jusuf Kalla Bahas Permohonan Pakistan Terkait Kebijakan Calling Visa
Namun belakangan ia menerima kenyataan itu sebagai suatu nasib buruk.
"Saya protes keras itu. Saya itu mengamankan jajak pendapat. Tujuh ratus TPS aman, dengan kondisi dua puluh tiga tahun berkelahi, kemudian diperintahkan jajak pendapat, diamankan, berhasil, aman tidak ada gejolak," ujarnya.
"Setelah yang satu kalah, satunya protes, ngamuk sendiri, kok dituduhkan ke kita, katanya pembiaran, tapi nggak apa apa, namanya nasib sial, tidak apa apa," Wiranto menambahkan.
Menurutnya suatu insiden tidak bisa sembarangan disebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Pasalnya untuk memberikan label tersebut, peristiwa itu harus memenuhi sejumlah unsur.
Dalam kesempatan itu Wiranto mengatan unsur-unsur yang harus terpenuhi antara lain adalah adanya tindakan yang sistematis yang bersifat masif, terahdap kelompok tertentu.
Adanya unsur genosida, atau penghapusan terahdap etnis, kelompok, atau penganut agama tertentu.
Kejahtan-kejatahatannya harus bersifat 'crimes against humanity' atau kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, penculikan dan pemindahan orang secara paksa.
Kebijakan itu, harus berbentuk kelanjutan dari kebijakan pemerintah.
Indonesia semakin mengenal tentang HAM setelah Komisi Nasional HAk Asasi Manusia (Komnas HAM) didirikan.
Namun menurut Wiranto, masih banyak masyarakat maupun kaum intelektual yang tidak paham tentang HAM akan tetapi bisa dengan mudah memberikan label pelanggaran HAM berat terhadap suatu peristiwa.
"Tapi perjalanan ke sini, masyarakat awam, bahkan kaum intelektual yang tidak mempelajari masalah hukum yang khas ini, pelanggaran HAM itu sudah rata-rata. (Peristiwa) Polisi memukuli orang (disebut) pelanggaran HAM. Itu (sebetulnya adalah) kriminal," ujarnya.
"Yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, itu harus memenuhi syarat yang sangat ketat, agar tidak disalahgunakan, agar tidak disalahartikan, agar tidak jadi alat politik," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.