Mantan Komisioner KPU Ajukan Judicial Review Undang-Undang Pemilu ke MK
Selain Hadar ada tiga pihak lainnya yang juga meminta permohonan judicial review terhadap UU Pemilu itu.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay melayangkan permohonan judicial review terhadap Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (6/9/2017).
Selain Hadar ada tiga pihak lainnya yang juga meminta permohonan judicial review terhadap UU Pemilu itu.
Hadar Nafis Gumay dan Yuda Iriang mengajukan permohonan sebagai individu, sementara Perludem dan Kode Inisiatif juga mengajukan permohonan itu sebagai organisasi.
Hadar mengatakan dasar permohonan judicial review, pasal Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentangan Pemilu tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Baca: Temui Djarot, Wakapolda Metro Minta Dukungan Pemprov DKI Terkait Seleksi Calon Anggota Polri
"Judicial review yang kami ajukan mengenai syarat pencalonan capres dan cawapres, seharusnya parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu punya hak mengajukan sendiri atau bersama partai lain mengajukan kadernya. Pasal 222 itu bertentangan dengan UUD 45," jelasnya.
Hadar merasa yakin untuk mengajukan judicial review walaupun UU Pemilu itu sudah diuji MK sebanyak empat kali dan diputuskan sebagai 'open legal policy'.
Justru karena diputuskan sebagai 'open legal policy', Hadar mengatakan tidak bisa berdiri sendiri dan harus dipahami sebagai konstitusi secara keseluruhan.
Baca: Yusril Gugat Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden ke Mahkamah Konstitusi
"Open legal policy lalu tanda baca koma, begitu kira-kira membaca keputusan MK. Kami melihat open legal policy harus dilihat dalam konteks sekarang dan yang selama ini dilakukan."
"Kalau pemilihan anggota legislatif yang digunakan sebagai batasan persyaratan itu dilakukan beberapa bulan sebelumnya tidak masalah tetapi tidak bermakna jika yang digunakan sebagai batasan adalah hasil Pileg lima tahun lalu," jelasnya.
Ia menegaskan bahwa mengukur kekuatan paspol saat ini tidak bisa dilakukan dengan hasil Pemilu lima tahun lalu.