Cegah Kekerasan Terhadap Anak Melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat
Kemen PPPA menyelenggarakan Pelatihan Tematik bagi Fasilitator Daerah Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan Pelatihan Tematik bagi Fasilitator Daerah Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Dalam kegiatan tersebut, Kemen PPPA mengajak semua unsur sampai tingkat pemerintahan terbawah, yaitu Desa/Kelurahan untuk menyelesaikan masalah kekerasan pada anak yang terjadi di masyarakat, upaya penerapan perlindungan anak, mencegah kekerasan terhadap anak, dan menanggapi kekerasan, salah satunya melalui gerakan PATBM.
PATBM merupakan sebuah gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak, menumbuhkan inisiatif masyarakat sebagai ujung tombak untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dengan membangun kesadaran masyarakat agar terjadi perubahan pemahaman, sikap, dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.
"Melalui PATBM, akan dilakukan sejumlah kegiatan seperti penyuluhan, pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi terkait isu perlindungan anak. Serta dibutuhkan sinergitas lembaga desa/perangkat desa, posyandu, sekolah, kader KB, PATBM desa lain, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)," jelas Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta di Depok, Provinsi Jawa Barat, Minggu (10/9/2017).
Baca: Resolusi Dewan Keamanan PBB Sepakat tidak Memblokir Ekspor Minyak ke Korea Utara
Berdasarkan survey Kemen PPPA pada 2013 menunjukkan bahwa pada kelompok umur 18-24 tahun, menunjukkan 1 dari 2 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan setidaknya mengalami salah satu pengalaman kekerasan seksual, fisik atau emosional sebelum berumur 18 tahun.
Pada kelompok umur 13-17 tahun, menunjukkan bahwa tidak lebih dari 30 persen anak laki-laki maupun perempuan yang melaporkan mengalami paling tidak salah satu jenis kekerasan atau lebih (fisik, seksual, dan emosional).
"Fenomena lain yang terungkap adalah anak sebagai pelaku kekerasan semakin meningkat setiap tahunnya dan umumnya anak pelaku juga pernah mengalami kekerasan," kata Pribudiarta.
Pribudiarta mengatakan untuk mengembangkan dan meningkatkan PATBM masih terdapat beberapa tantangan, di antaranya fenomena jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang cukup signifikan dan makin beragam permasalahannya.
Masih banyaknya daerah kabupaten/kota dan Desa/Kelurahan yang belum terjangkau untuk menjadi model PATBM serta minimnya pemangku kebijakan/fasilitator/aktivis/pemerhati anak yang terlatih PATBM.
"Sehingga SDM potensial untuk pengembangan PATBM masih sangat terbatas sementara isu anak sangat banyak termasuk problematikanya," kata Pribudiarta.
Selain itu minimnya penganggaran terkait PATBM perlu solusi cerdas terhadap aksesibilitas sumber– sumber pendanaan yang ada dalam rangka penyediaan sarana prasarana dan fasilitas untuk meningkatkan layanan di masyarakat, termasuk media KIE.
Indonesia mempunyai kultur, budaya, dan agama yang berbeda-beda.
Beberapa keberhasilan PATBM menunjukkan ada nilai-nilai dalam masyarakat yang bisa dipromosikan dan diintegrasikan dalam PATBM agar anak terhindar dari kekerasan, misal agama dan budaya tradisional.
Berbagai kegiatan PATBM terlaksana baik karena adanya dukungan dari para penggerak kegiatan, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh penggiat aktivis anak dan keluarga yang ada di sekitar lingkungan desa/kelurahan PATBM.
Sehingga sinergitas yang terbentuk dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang telah ada sangat diperlukan.
"Saya berharap melalui PATBM dapat menurunkan angka kekerasan pada anak dengan mengubah norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan atau mengabaikan kekerasan, membangun sistem pada tingkat komunitas dan keluarga untuk pengasuhan yang mendukung relasi yang aman untuk mencegah kekerasan (peer to peer approach), meningkatkan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan, dan meningkatkan keterampilan masyarakat dalam menanggapi kekerasan terhadap anak dengan melakukan jejaring dengan lembaga layanan yang tersedia," kata Pribudiarta.