Terima Vonis 8 Tahun Penjara, Patrialis Akbar Putuskan Tidak Banding
Mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar menyatakan menerima putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yakni pidana 8 tahun penjara.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar menyatakan menerima putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yakni pidana 8 tahun penjara.
Dengan demikian, Patrialis dan kuasa hukumnya tidak mengajukan upaya hukum banding.
"Tidak melakukan banding," ujar pengacara Patrialis Akbar, Soesilo Aribowo saat dikonfirmasi, Selasa (12/9/2017).
Baca: Curiga Uang yang Diterimanya Palsu, Wanita Penghibur Lapor ke Security, Ini yang Berikutnya Terjadi
Di sisi lain, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyatakan menerima putusan hakim.
Vonis terhadap Patrialis dinilai hampir 2/3 dari tuntutan jaksa, yakni penjara selama 12,5 tahun.
Selain itu, tindak pidana yang didakwakan telah terbukti dalam putusan hakim.
Patrialis Akbar divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.000, atau sama dengan jumlah suap yang diterima Patrialis.
Patrialis terbukti menerima suap dari pengusaha impor daging, Basuki Hariman dan stafnya Ng Fenny. Patrialis dan orang dekatnya Kamaludin menerima Rp 50.000 dollar AS, dan Rp 4 juta.
Keduanya juga dijanjikan uang sebesar Rp 2 miliar dari Basuki.
Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam upaya untuk memengaruhi putusan uji materi, Basuki dan Fenny menggunakan pihak swasta bernama Kamaludin yang dikenal dekat dengan Patrialis Akbar.
Dalam penyerahan uang kepada Patrialis, kedua terdakwa juga melibatkan Kamaludin.
Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Patrialis Akbar Tidak Ajukan Banding atas Vonis 8 Tahun Penjara