Menolak Menyuap, Karyawan Perusahaan Farmasi Dipecat
April lalu, PT Metiska Farma memecat tujuh pekerja secara pihak. Diduga lantaran mereka menolak praktik pemberian gratifikasi saat menjual produk obat
Berita ini telah dilengkapi dengan Klarifikasi dari pihak kuasa hukum tujuh pekerja yang diberhentikan atau PHK. Klarifikasi ini diterbitkan setelah kuasa hukum tujuh pekerja mendatangi kantor Tribunnews.com, pada 25 April 2018
TRIBUNNEWS.COM - April lalu, PT Metiska Farma memecat tujuh pekerja secara pihak. Diduga lantaran mereka menolak praktik pemberian gratifikasi saat menjual produk obat-obatan.
Andi menjelaskan – bukan nama sebenarnya, ia dan teman-temannya kerap memberikan komisi berupa mobil atau uang puluhan juta rupiah. Hingga tahun lalu, Kementerian Kesehatan melarang praktik semacam ini, Andi pun kecut.
Simak kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Andi mengaku melakukan praktik semacam itu sejak pertama kali bekerja di Metiska Farma pada 2007. Pemuda berusia 33 tahun ini bercerita, ia diharuskan menjual produk obat-obatan kepada pengguna atau user yakni tenaga medis, terutama para dokter.
Kepada mereka, Andi menawarkan berbagai macam imbalan agar mau menuliskan resep produk obat Metiska Farma kepada pasien.
"Tekniknya memang begitu. Yang diajarkan perusahaan memang seperti itu. Jadi kita tawarkan ke user, user kalau mau pakai, kita kasih fee lagi. Ratenya rata-rata 20 persen, dari harga obat. (Diskon?) iya betul. Nanti resepin, kita kan ngasih harga segala macam. Nanti dari misalnya total resep dia berapa, keluar berapa, nanti kita hitung, kita kalkulasi, 20 persen, kita kasih ke usernya. Via transfer biasanya,” jelasnya.
Andi juga bercerita, praktik semacam ini sudah lazim dilakukan semua perusahaan farmasi. Semua pihak yang terlibat; agen perusahaan maupun dokter, tahu sama tahu. Penawaran hingga kesepakatan dilakukan sembunyi-sembunyi.
“(Praktek itu) Sembunyi-sembunyi, pasti sembunyi. Nggak ada yang langsung. Semuanya pasti ngumpet-ngumpetlah, nggak mungkin vulgar, di ruangan kan. Kita berdua doang, ngomongin produk, kalau usernya setuju, oke, dapat berapa dia. Kadang-kadang ada dokter yang buka, atau kita juga yang buka. Ada dokter yang pura-pura, ada yang langsung to the point kan, dapat apa, dapat berapa,” tambahnya.
Andi sempat mempertanyakan kehalalan atau keabsahan model bisnis ini. Namun, karena titah perusahaan dan semua rekannya melakukan hal serupa, ia tetap bertahan.
Dia juga tak mengelak, penghasilannya lumayan besar selama bekerja di perusahaan farmasi. Insentif yang dibawa pulang setiap bulan bisa menembus belasan juta. Karir Andi pun cepat menanjak. Pada 2010, ia memangku jabatan supervisor.
Namun, zona aman Andi mulai terguncang dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes nomor 58 tahun 2016) tahun lalu yang melarang gratifikasi di kalangan dokter. Ia dihantui rasa takut bakal tertangkap tangan.
Apalagi, akhir-akhir ini operasi tangkap tangan (OTT) sering terjadi. Sementara perusahaan, sudah pasti bakal lepas tangan.
Keresahan yang sama dirasakan enam temannya. Sejak akhir tahun lalu, mereka sepakat menyetop pemberian suap dan gratifikasi. Hasilnya? Mudah ditebak, penjualan mereka langsung anjlok lebih dari separuh.
Sejak Januari, setiap bulan Andi diganjar demosi atau turun jabatan akibat penjualan yang seret.
Pada April, Andi yang sudah berada di posisi terendah, tiba-tiba dimutasi atau dipindah ke Bengkulu. Anehnya, dalam surat mutasi, tidak tercantum alamat kantor cabang di Bengkulu maupun nomor kontak yang jelas.
Alhasil, ia dianggap tidak hadir saat proses mutasi dan dianggap mengundurkan diri. Andi juga tidak bisa melontarkan protes apapun karena seluruh saluran komunikasi dengan perusahaan diputus.
“Ya gaji turun, tunjangan segala macam tuh hilang, sampai Maret, April dimutasi kita nggak datang, nggak digaji langsung. Kita protes kemana? Kita ke HRD pun nggak diterima juga. Kan pimpinan cabang sudah nggak boleh berkomunikasi sama kita. Email juga nggak bisa. Kita datang ke kantor pimpinan cabang, pimpinan cabang udah nggak mau nanggapin, nggak boleh berhubungan dengan kita yang 7 orang ini. HRD pun sama,” ungkap Andi.
Merasa diperlakukan tak adil, Andi dan enam temannya menggugat perusahaan. Mereka menunjuk pengacara dan siap bertarung di jalur hukum –menuntut Metiska Farma membayarkan pesangon dan memenuhi hak-hak sebagai pekerja.
Kuasa hukumnya, Odie Hudiyanto mengatakan telah menempuh mediasi dengan perusahaan. Dinas Tenaga Kerja Bogor bahkan mengeluarkan anjuran agar Metiska memenuhi tuntutan para pekerja. Namun, anjuran itu tak digubris.
Odie mengancam akan melaporkan kasus ini ke Kementerian Kesehatan, saber pungli serta maju ke pengadilan hubungan industrial apabila perusahaan tetap bergeming. Sementara pihak Metiska Farma menolak permintaan wawancara.
Direktur Utama Metiska Farma, Soni Janto, hanya memberikan tanggapan melalui pesan singkat bahwa perusahaan tidak melakukan PHK sepihak. Soni mengklaim semua langkah terkait tujuh karyawan Metiska sudah sesuai prosedur dan undang-undang.
KLARIFIKASI
Sehubungan dengan berita di Tribunnews.com tertanggal 19 Oktober 2017 berjudul, "Menolak Menyuap, Karyawan Perusahaan Farmasi Dipecat," berikut klarifikasi yang disampaikan oleh kuasa hukum pekerja, Roy M Napitupulu.
Berita itu berisi mengenai dugaan adanya pemberian gratifikasi kepada dokter.
Pada Jumat (13/4/2018) bertempat di Kantor Law Firm Henry Yosodiningrat &Partners yang beralamat di Twin Plaza Hotel Office Tower 23rd Floor, Jl Letjen S Parman Kav 93-94, Slipi, Jakarta telah dicapai kesepakatan perdamaian pernyelesaian pesangon/pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berikut klarifikasinya kuasa hukum tujuh pekerja di PT Metiska Farma:
1. Permasalahan antara PT Metiska Farma dengan tujuh mantan pekerja semata murni disebabkan kurangnya koordinasi dan komunikasi dalam menjalankan tugas sebagai bagian pemasaran obat.
2. Bahwa terdapat kekeliruan dalam keterangan yang pernah kami sampaikan terkait dengan hal pemasaran obat sehingga menimbulkan kerugian dan tercemarnya nama baik PT Metiska Farma.
3. setelah melewati proses musyawarah dan mufakat, akhirnya antara PT Metiska Farma dan tujuh mantan pekerja mendapatkan kesepakatan untuk berdamai untuk kebaikan masing-masing pihak. (*)