Pakar Hukum Nilai Setya Novanto Blunder Jika Pakai UU MD3 untuk Mangkir Panggilan KPK
Novanto melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa pemanggilan dirinya perlu seizin Presiden.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Blunder jika Ketua DPR Setya Novanto pakai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) untuk mangkir panggilan kedua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengatakan KPK tidak perlu mengantongi izin tertulis dari Presiden untuk memanggil Setya Novanto.
Novanto melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa pemanggilan dirinya perlu seizin Presiden.
Memang kata mantan Pansel KPK ini mengutip Pasal 245 Ayat (1) UU MD, "Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
Baca: Ikut Lelang E-KTP, Perusahaan Keluarga Setya Novanto Ternyata Fiktif?
Namun penegasannya terdapat pada pasal 245 Ayat (3) huruf c yang menyebutkan bahwa ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Jadi tak diperlukan izin kalau terkait tindak pidana khusus. Korupsi adalah tindak pidana khusus jadi tidak diperlukan ijin tertulis, KPK bisa tetap panggil," tegas Yenti kepada Tribunnews.com, Senin (6/11/.2017).
Ia melihat juga Setya Novanto sedang mempertontonkan ketidakkonsistenannya memakai alasan KPK harus peroleh izin Presiden ketika mangkir panggilan kedua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (6/11/2017).
Karena saat bersaksi untuk terdakwa korupsi Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto bersedia hadir tanpa harus meminta izin dari Presiden di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (3/11/2017) lalu.
"Dan jangan lupa dengan kehadiran Jumat lalu, apakah waktu itu belum ada UU MD3?" tanyanya.
Karena itu menurutnya, sudah cukup waktunya bagi penyidik KPK untuk mengambil opsi tegas memanggil paksa Setya Novanto.
"Dan ini jelas menunjukan dia mangkir sebagai saksi, ya panggil paksa," tegasbnya.
Namun kini tinggal penegak hukum apakah berani menegakan hukum yang sama bagi semua warga negara di mata hukum.
"Jangan beraninya hanya dengan rakyat kecil yang tajam kebawah," ujarnya.
Setya Novanto dipastikan hari ini, Senin (6/11/2017) tidak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Dirut PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo (ASS).
Ketidakhadiran Setya Novanto ini diketahui lantaran KPK menerima surat tertanggal 6 November 2017 dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR, Damayanti.
Dalam surat tersebut Sekjen DPR menyatakan, Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan penyidik KPK. Sekjen DPR berdalih pemeriksaan terhadap Setya Novanto sebagai Ketua DPR harus berdasar izin Presiden.
Menurutnya itu sesuai dengan ketentuan Pasal 254 ayat (1) UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebut 'Pemanggilan dan Permintaan Keterangan untuk Penyidikan terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden'.
"Surat tersebut menyampaikan lima poin yang pada pokoknya menyatakan Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan KPK sebagai saksi karena menurut surat tersebut panggilan terhadap Setya Novanto harus dengan izin tertulis dari Presiden RI," terang Febri.
Alasan Sekjen DPR ini terasa janggal oleh banyak pihak. Hal ini lantaran Pasal 245 ayat (3) menyatakan, ketentuan sebagaimana Pasal 245 ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.