Pesan Pengamat Hukum Pidana Ini Terhadap Setya Novanto di Sidang Kedua
Terdakwa Setya Novanto menjalani sidang kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/12/2017).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Setya Novanto menjalani sidang kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/12/2017).
Sidang kedua itu beragendakan pembacaan eksepsi Setya Novanto sebagai terdakwa dan penasehat hukum atas keberatan terhadap surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pengamat hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi, menilai sidang pembacaan eksepsi penting.
Oleh karena itu, ia merasa, Setya Novanto perlu memanfaatkan sidang tersebut untuk mengoreksi dakwaan dari JPU.
"Jadi keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan hak negara untuk memberikan pembelaan," tutur pria yang juga staff pengajar di Universitas Sumatera Utara, Selasa (19/12/2017).
Setya Novanto didakwa melakukan intervensi penganggaran proyek pengadaan e-KTP yang berlangsung di DPR RI pada 2009-2013.
JPU KPK membacakan dakwaan itu di sidang kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12/2017).
Jaksa mendakwa politikus Partai Golkar itu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pada dakwaan alternatif, jaksa menyangka Novanto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke- KUHP.
Atas serangkaian pasal yang didakwakan, Novanto terancam hukuman maksimal berupa pidana penjara selama 20 tahun.
"Misalnya, terhadap dakwaan itu dituduhkan pasal 2 dan pasal 3. Ya, pihak lawyer harus bisa memberikan apakah secara materil dan formil itu bisa dikritisi," kata Mulyadi.
Ia meminta semua pihak agar menghargai proses hukum. Sampai saat ini, kata dia, Setya Novanto masih belum terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
"Iya, masih terdakwa, belum tentu bersalah. Belum terbukti bersalah biar proses berjalan. Pesan saya kepada Pak Setnov, sabar diri, kuatkan diri, supaya bisa saling membuktikan," tambahnya.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.