Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini Respon SETARA Institute Soal Kasus Ge Pamungkas dan Joshua Suherman

Dua komika Indonesia, Ge Pamungkas dan Joshua Suherman, dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan melakukan penistaan agama.

Editor: Ferdinand Waskita
zoom-in Ini Respon SETARA Institute Soal Kasus Ge Pamungkas dan Joshua Suherman
TribunStyle/kolase
Ge Pamungkas dan Joshua Suherman. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua komika Indonesia, Ge Pamungkas dan Joshua Suherman, dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan melakukan penistaan agama.

Hal itupun mendapatkan respon dari SETARA Institute.

"Untuk ke sekian kalinya ‘pasal karet’ penodaan agama kembali digunakan sebagai dalih untuk membungkam kebebasan berekspresi dan penyampaian kritik sosial," kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulis, Jumat (12/1/2018).

Baca: Fahri Hamzah Sebut Mentalitas Orde Baru Muncul, Tandanya Perppu Ormas

Dalam materi stand up comedy yang ditampilkan, kata Bonar, Ge Pamungkas sesungguhnya menyampaikan kritik sosial atas kecenderungan beberapa kelompok yang gemar melakukan framing opini atas isu-isu sosial-politik dengan menggunakan agama.

Termasuk dalam isu banjir Jakarta, seperti yang dipersoalkan oleh Ge.

Sedangkan Joshua, dalam materi stand up-yang dibawakan, kata Bonar, sejatinya memberikan kritik keras atas perilaku sebagian publik yang gemar melakukan diskriminasi sosial berdasarkan SARA.

Berita Rekomendasi

Termasuk dalam profesi artis, sebagaimana satire yang disampaikan oleh Joshua.

Menurut Bonar, kedua komika tersebut sama sekali tidak menistakan agama tertentu.

Baca: Fredrich Mangkir dari Panggilan KPK karena Khawatir Langsung Ditahan di Jumat Keramat?

Tetapi menyampaikan kritik tentang perilaku sosial sebagian kelompok masyarakat dalam menggunakan agama dan doktrin-doktrin di dalamnya.

"Kalau kita telisik profil kelompok pelapor, sangat jelas bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang secara berpola menggunakan agama dalam usaha untuk menguasai wacana publik, bahkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi-politik tertentu," kata Bonar.


Menurut Bonar, kelompok pelapor tampak jelas sedang menggunakan pasal penodaan agama terhadap kritik sosial yang disampaikan komika ini untuk memelihara eksistensinya dalam ruang-ruang publik sebagai “polisi agama” dan untuk meningkatkan daya tawar politik mereka.

"Selain itu, mereka juga sejatinya sedang mengekspresikan afiliasi kelompok mereka dalam pembelahan politik yang sengaja didesain oleh kelompok tertentu pasca Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta yang lalu," ujar Bonar.

Sebagaimana viral di beberapa media sosial, kata Bonar, komika populer lainnya juga mengangkat isu sensitif agama dalam menyampaikan kritik sosial melalui stand-up comedy.

Naamun tidak dipersoalkan oleh kelompok ini karena dalam perhelatan politik elektoral di DKI Jakarta yang lalu termasuk dalam pendukung kubu politik yang mereka usung.

Mencermati konteks tersebut, Bonar meminta pihak kepolisian RI hendaknya tidak secara gegabah melakukan tindakan kepolisian atau meningkatkan status pelaporan penistaan agama ini dalam proses hukum.

"Proses hukum atas dua komika tersebut nyata-nyata akan mengancam kebebasan berekspresi serta membungkam kreativitas dalam menyampaikan kritik sosial dan dalam berkesenian," tutur Bonar.

"Modus penggunaan dalil penodaan agama di atas in line dengan beberapa kasus lainnya pasca reformasi, yang dalam catatan SETARA Institute hingga akhir 2017 mencapai 109 kasus," tambahnya.

Oleh karena itu, SETARA meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi dengan dalil penodaan agama dan (2) menunjukkan keseriusan untuk menghapus pasal penodaan agama dalam KUHP, PNPS dan UU ITE.

Menurut Bonar, tingginya subjektivitas dan elastisitas dalam pasal penodaan agama bertentangan dengan asas legalitas dalam konstruksi hukum positif, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan tidak berkontribusi signifikan bagi terwujudnya tertib sosial, tertib hukum, dan keadilan.

"Permisivitas pemerintah untuk merespons kegenitan-kegenitan politis melalui pelaporan penodaan agama dan ketidakseriusan dalam mengeliminasi dalil penodaan agama dalam sistem hukum nasional akan mengakibatkan jatuhnya semakin banyak korban. Selain itu, dalil tersebut akan terus dimanfaatkan kelompok kepentingan dan ekonomi-politik tertentu untuk kepentingan-kepentingan subjektif mereka," kata Bonar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas