Permintaan Mahar Saat Pilkada Berpotensi Munculkan Praktik Korupsi Politik
Alasannya uang itu diperlukan untuk membayar transport dan akomodasi relawan atau petugas saksi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik mahar politik yang marak di pilkada serentak kini lebih terbuka dibanding pelaksanaan pilkada sebelumnya.
Bahkan, Partai politik (Parpol) mulai terbuka soal permintaan uang ke calon kepala daearah.
Alasannya uang itu diperlukan untuk membayar transport dan akomodasi relawan atau petugas saksi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hal tersebut dikhawatirkan akan memunculkan praktik korupsi politik, sebab ketika seorang calon itu nanti menjabat maka akan berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan.
"Jadi rasional ketika biaya besar (dikeluarkan) dikejar kembali untuk impas saat berkuasa. Ini tentu saja tidak boleh menjadi tradisi,“ kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Senin(15/1/2018).
Ia mengatakan, praktik semacam itu tidak boleh dianggap wajar dalam pilkada atau pemilu.
“Tentu saja meminta sejumlah biaya untuk saksi, dan kampanye tidak boleh dianggap wajar," ujar Titi.
Menurut Titi, gaji kepala daerah tidak akan mampu mengembalikan biaya yang dikeluarkan.
Akhirnya, kata dia, perselingkuhan pun dimulai mengingat kepala daerah punya akses anggaran, kebijakan, maupun birokrasi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Voxpol Pangi Chaniago menilai, masyarakat harus bisa lebih mempertimbangkan parpol yang sangat ngotot urusan mahar.
Karena mahar menjadi biang kerok korupsi yang selama ini terjadi.
“Kalau kita sisir dari hulu hingga hilir maka bisa dipastikan salah satu faktor masalahnya adalah persoalan mahar. Dan imbasnya adalah tingginya cost politic,” papar Pangi.
Selain itu, tingginya biaya mahar juga membuat minat menjadi kepala daerah makin menurun.
Belum lagi ditambah, biaya atribut, akomodasi relawan hingga ongkos lobi-lobi.