Bukan Hanya Setnov, Biasa KPK Pakai Rekaman FBI Dalam Bongkar Kejahatan Korupsi
Praktik itu sudah menjadi praktik biasa dalam membongkar kejahatan transnational seperti korupsi
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak ada ketentuan hukum yang ditabrak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan rekaman wawancara antara Biro Investigasi Federal AS (FBI) dengan Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem, pada persidangan kasus E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto beberapa waktu yang lalu.
Hal itu ditegaskan Peneliti School of Transnational Governance European University Institute Erwin Natosmal Oemar kepada Tribunnews.com, Rabu (24/1/2018).
Apalagi baik Indonesia maupun Amerika Serikat (AS) sebagai pihak sudah meratifikasi UN Convention against Transnational Organized Crime dan UN Convention against Corruption (UNCAC) dalam sistem hukumnya.
Dalam UU Indonesia juga sudah mendapat alas hukum yang kuat, yaitu UU No 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
"Jadi, dari sisi hukum, tidak ada masalah yang krusial terkait bantuan timbal balik antara KPK dan FBI," ujar pegiat antikorupsi ini kepada Tribunnews.com.
"Praktik itu sudah menjadi praktik biasa dalam membongkar kejahatan transnational seperti korupsi," tegasnya lebih lanjut.
Dengan ini pula Erwin berharap KPK bisa lebih memaksimalkan dalam persidangan untuk menjelaskan ke publik bagaimana pola aliran dana yang diterima Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
Baca: KLB Asmat, Fahri: Tragedi Pengelolaan Negara
KPK menggunakan rekaman wawancara antara Biro Investigasi Federal AS (FBI) dengan Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem, pada persidangan kasus E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto beberapa waktu yang lalu.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyebut penggunaan rekaman tersebut memiliki dasar hukum yang terdapat pada Undang-Undang KPK.
"Kerjasama internasional itu diatur kerjasama antara KPK dengan institusi penegak hukum lain di negara lain itu diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf h atau i Undang-Undang KPK," ujar Febri saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Pasal 12 ayat 1 (h) menyebutkan KPK berwenang meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Sementara huruf (i) memuat aturan yang memberi kewenangan KPK untuk meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
KPK juga mendasari pada hasil dua konvensi UN Convention against Transnational Organized Crime dan UN Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.