Pengamat: Bukan Baru Kali Ini Perwira TNI dan Polri Jadi Pj. Gubernur
Sehingga diharapkan ada koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh yang bukan dari unsur institusi keamanan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perdebatan tentang boleh tidaknya Perwira Polri menjabat sebagai pejabat Gubernur harus dilihat dalam perspektif tata kelola pemerintahan.
Penekanan ini menurut Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Univ. Padjadjaran, Bandung, Muradi, menjadi memungkinkan dilakukan manakala posisi untuk pengisian pj. Gubernur tersebut tidak sepenuhnya diisi oleh unsur petinggi di kemdagri.
Sehingga menjadi memungkinkan diambil dari unsur di luar kemdagri, seperti kejaksaan, polri ataupun tni, dan lain sebagainya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 pasal 101. Pun Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 pasal 4 dan pasal 5.
Untuk itu pada Pilkada 2017 lalu, ada dua Perwira dari TNI dan Polri menjabat sebagai pj. Gubernur di Aceh (Mayjen TNI Purn Soedarmo) dan Sulawesi Barat (Irjen Pol Carlo Brix Tewu) pada 2016 lalu. Saat itu penekanannya pada potensi konflik.
"Sehingga diharapkan ada koordinasi yang lebih mudah dibandingkan jika dijabat oleh yang bukan dari unsur institusi keamanan," ujar Muradi kepada Tribunnews.com, Jumat (26/1/2018).
Sementara bila mengacu pada perundang-undangan yang terkait TNI atau Polri, baik UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, maupun UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mana penekanannya lebih pada keterlibatan dalam politik praktis.
Namun jika dilihat lebih detail, keberadaan untuk mengisi jabatan sebagai pejabat kepala daerah tersebut dimungkinkan. Karena penekanannya pada pelayanan sebagai kepala daerah.
Apalagi bukan tanpa masalah saat pj Gubernur diisi oleh Sekda karena itu akan menjadi permasalahan tersendiri,
"Karena adanya interaksi yang bersifat tidak netral," katanya.
Karenanya, berkaca pada pengangkatan pj dari unsur polri dan TNI pada 2016 lalu, maka penetapan perwira polri menjadi pj. Gubernur menjadi dimungkinkan dengan pertimbangan strategis, yakni, kedua provinsi tersebut berpotensi konflik.
"Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bawaslu, KPU, kemdagri dan juga internal polri maupun TNI sendiri," tegasnya.
Apalagi dalam peraturan yang ada, kali ini makin kuat pijakannya dibandigkan saat 2016 lalu.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, dasar hukum diusulkannya dua nama perwira tinggi Polri sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Sumatera Utara tak menyalahi aturan.
Dua perwira Polri yang diusulkan adalah Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan yang diproyeksikan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat; dan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin yang diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Sumatera Utara.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 201 ayat 10 Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada, yang menyebutkan, "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
"Sesuai aturan saja. Saya tidak mau langgar aturan yang selama ini ada," kata Tjahjo melalui pesan singkat, Kamis malam (25/1/2018).
Selain itu, aturan lain yang menjadi dasar usulan pengangkatan penjabat gubernur dari Polri adalah Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri 11/2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara yang berbunyi, "Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi".
Kepala Pusat Penerangan, Kemendagri, Arief M Edie menegaskan, usulan dua nama dari perwira tinggi Polri tak menyalahi aturan.
"Pati Polri di Sumut dan Jabar dimungkinkan karena dalam UU 10/2016 tentang Pilkada jelas. Untuk mengisi kekosongan jabatan bisa dijabat oleh pejabat tinggi madya," kata Arief.
"Nah pejabat tinggi madya kalo di Kemendagri atau kementerian lembaga pejabat eselon I. Kalau di TNI-setingkat Mayjen dan Polri setingkat Irjen," tambah dia.
Apalagi, kata Arief, dua perwira tinggi Polri tersebut masih sebatas usulan. Sebab, keputusan akhir ada di tangan Presiden Joko Widodo.
"Saat ini, dalam posisi nenerima usulan dari Polri, untuk penunjukkan penjabat itu oleh Presiden atas usulan Kemendagri. Jadi itu masih batas usulan, tidak melanggar ketentuan apapun, Mendagri kan berpegang pada ketentuan yang ada," papar Arief.(*)