Indikasi Kerugian Negara Setara Rp Rp 1,86 Triliun
Penyimpangan dan indikasi kerugian keuangan negara mencapai minimal USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun.
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyelesaikan audit investigatif terhadap proses pembangunan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja milik Pelindo II.
Sejumlah penyimpangan dan indikasi kerugian keuangan negara mencapai minimal USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun.
Hal itu terungkap dalam penyerahan hasil audit investigatif lanjutan BPK RI di hadapan pimpinan DPR RI, Rabu (31/1).
Hadir empat orang pimpinan DPR yakni Ketua Bambang Soesatyo dan tiga wakilnya yakni Taufik Kurniawan, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah. Hadir juga Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka.
Dalam temuan BPK RI, ada dugaan penyalahgunaan dengan skema identik kasus Koja dengan Jakarta International Container Terminal (JICT).
Kasus di JICT sudah terlebih dahulu diinvestigasi oleh BPK dengan kerugian keuangan negara minimal Rp 4,08 trilyun.
Metodenya mirip yang dimulai dengan rencana perpanjangan yang sudah diinisasi sejak 2011 oleh mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino tanpa pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan.
Baca: Kembangkan Desa Wisata Danau Toba, Pelindo 1 Raih Apresiasi CSR
Hal itupun tak pernah diinformasikan dalam laporan keuangan 2014.
Perpanjangan perjanjian kerja sama operaso (KSO) TPK Koja ditandatangani oleh Pelindo II dan Hutchinson Port Holdings (HPH), perusahaan yang dimilikit taipan Hong Kong Li Ka Shing, tanpa melalui izin konsesi kepada menteri perhubungan.
Penunjukkan HPH dilakukan tanpa mekanisme pemilihan mitra kerja yang sehrusnya.
Perpanjangan itu ditandatangani Pelindo II dan HPH meski belum ada persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dan persetujuan menteri BUMN.
Temuan BPK selanjutnya, adalah penujukkan Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch sebagai financial advisor oleh Pelindo II, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan aturan perundangan.
Dan DB sebenarnya tidak lulus evaluasi adminitrasi, serta terindikasi konflik kepentingan karena merangkap negosiator, pemberi utang, dan arranger.