Pengajar IPB Jadi Saksi Ahli di Sidang Gubernur Nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam
Basuki Wasis mengatakan pihaknya diminta KPK untuk menghitung dan meneliti dampak kerusakan alam di area pertambangan nikel
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan saksi ahli yang adalah pengajar Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Basuki Wasis di sidang lanjutan Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara, Nur Alam, Rabu (14/2/2018) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Dalam keterangannya, Basuki Wasis mengatakan pihaknya diminta KPK untuk menghitung dan meneliti dampak kerusakan alam di area pertambangan nikel PT AHB, di Pulau Kabaena.
"Saya hadir di proses lidik Mei 2016. Kemudian saya diminta jadi ahli di sidik pada 21 dan 22 Februari 2017. Tahapannya surat perintah permintaan KPK ke KLH. Lalu diminta institusi kami untuk melihat ada unsur kerusakan dan perhitungan," ujar Basuki Wasis di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Jadi kegiatan penelitian dampak kerusakan ini diketahui Kementeriak Lingkungan Hidup? ," tanya hakim.
"Iya," jawab Basuki Wasis.
Baca: KPU Sarankan Pasangan Calon Edukasi Masyarakat Saat Kampanye
Diketahui Basuki Wasis merupakan ahli di bidang kerusakan tanah. Dia juga sering dihadirkan menjadi saksi di persidangan kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di daerah, seperti Riau.
Diketahui Nur Alam didakwa bersama-sama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tenggara, Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia, Widdi Aswindi menerima hadiah Rp 2.781.000.000.
Selain memperkaya diri sendiri, perbuatan terdakwa juga memperkaya PT Billy Indonedia sebesar Rp 1.593.604.454.137.
Penerimaan uang itu yakni terkait pemberian Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).
Atas perbuatan terdakwa negara disebut menderita kerugian sebesar Rp 4.325.130.590.137. Atau setidak-tidaknya Rp 1.596.385.454.137
Nur Alam diancam pidana Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.