Pengamat: Secara Etika Politik Dinasti Tidak Baik
pemerintah perlu membuat aturan baru mengenai politik dinasti ini agar bisa menyikapi adanya praktik politik dinasti.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik-praktik politik dinasti secara demokrasi memang tidak salah.
Namun, secara etika politik hal semacam itu sangatlah tidak baik.
Hal tersebut dikatakan Pengamat Politik Universitas Padjajaran Idil Akbar menyikapi adanya praktik politik dinasti saat pilkada serentak tahun 2018.
"Kalau bagian dari demokrasi siapapun punya hak untuk mencalonkan diri. Tapi dari etika politik ini menjadi masalah," ujar Idil Akbar saat dihubungi, Senin (19/2/2018).
Menurut Idil, kerawanan politik terjadi karena adanya politik dinasti ini.
Misalnya di beberapa daerah tersangkut kasus korupsi.
"Karena memang kebijakan dinasti ini menyuburkan salah satunya adalah korupsi. Apalagi banyak kerawanan politik yang muncul dari politik dinasti ini," katanya.
Oleh sebab itu diungkapkan Idil, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut mengawasi para kepala daerah yang melakukan politik dinasti ini.
"KPK dalam hal ini memberi perhatian khusus. Karena logikanya petahana bagaimana caranya akan mempertahankan kekuasaan," tegasnya.
Idil juga menyarankan pemerintah perlu membuat aturan baru mengenai politik dinasti ini.
Misalnya keluarga petahana jangan mencalonkan diri selama satu periode.
Sehingga itu tidak melanggar hak berdemokrasi.
"Kalau perlu diformalkan dalam bentuk UU, misalkan tidak boleh maju satu periode," pungkasnya.
Sekadar informasi, Istri Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, Anne Ratna Mustika, mendaftar sebagai calon Bupati Purwakarta.
Anne maju pada Pilkada Purwakarta berpasangan dengan Kepala Desa Tajursindang Kecamatan Sukatani, Aming. Pasangan Anne-Aming ini diusung enam partai politik, yakni Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hanura, Partai Nasdem dan PAN.
Ada pula Karolin Margret Natasha yang juga anak dari Gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang juga maju menjadi calon gubernur.