Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kumpulan Penjahat Yogyakarta yang Pernah Menjadi Pengawal Bung Karno

Saat Soekarno dan Bung Hatta mengungsi ke Jogja pada tahun 1946, mereka dilindungi oleh Pasukan Terate, yang antara lain terdiri dari penjahat

Editor: Nurmulia Rekso Purnomo

TRIBUN-VIDEO - Pada Januari 1946 pemerintah RI terpaksa dipindahkan ke Yogyakarta karena alasan keamanan. Pasalnya pasukan Belanda yang didukung Sekutu terus melancarkan tindakan brutal terhadap warga Jakarta. Apalagi sepak terjang serdadu NICA juga makin membahayakan keselamatan keluarga Presiden Soekarno dan Wapres, Bung Hatta.

RAJA Yogyakarta, Sultan HB IX dengan senang hati menerima kehadiran rombongan keluarga dan para staf Presiden serta Wapres RI meski menanggung banyak tantangan.

Salah satu tantangan yang harus segera diatasi oleh Sultan HB IX, selain menyediakan tempat penampungan juga harus menyiapkan ‘pasukan keamanan yang harus tersedia dalam waktu singkat.

Baca: Kartu Indonesia Sehat Tidak Berguna Bagi Korban Bom Bali, Chusnul Khotimah

Baca: Kecanggihan Pesawat F-16, Mulai dari Kemampuan Mesin, Airframe hingga Avionik

Karena kurangnya personel pasukan keamanan, Sultan HB IX kemudian meminta tolong kepada penasihat Pangsar Soedirman dan Kolonel Moestopo untuk segera menyiapkan pasukan pengamanan.

Kolonel Moestopo sendiri sedang tidak memiliki pasukan yang segera bisa digunakan untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta serta para staf lainnya sehingga terpaksa mengambil langkah kontroversial.

Berita Rekomendasi

Kolonel Mostopo kemudian mengumpulkan para penjahat, pencopet di Yogyakarta untuk dididik menjadi pejuang-pejuang yang tangguh.

Selama dalam masa pelatihan yang tujuannya mengarahkan mereka menjadi orang baik-baik, orang-orang yang lebih dikenal sebagai ‘’sampah masyarakat’’ itu ditampung dalam wadah khusus yang dinamai Barisan Terate.

Kolonel Moestopo yang juga mantan komandan batalyon PETA di masa penjajahan Jepang dan telah kenyang asam garam pertempuran ikut terjun sebagai pelatih.

Hasil gemblengan para sampah masyarakat itu ternyata berhasil.

Mereka menjadi para pejuang tangguh dalam berbagai pertempuran di Jawa dan terwadahi dalam Barisan Macan Putih dan Barisan Macan Hitam.

Seusai Perang Kemerdekaan Kolonel Moestopo yang juga seorang dokter gigi dan pendidik ternyata terus menggembleng mantan personel Barisan Macan Putih dan Macan Hitam itu dalam dunia pendidikan.

Salah seorang di antaranya bahkan berhasil meraih gelar doktor. Sedang Kolonel Moestopo sendiri berhasil meraih pangkat hingga Mayor Jenderal dan bergelar akademik Profesor Doktor.

Kisah lain menyebutkan, Pada tanggal 3 Januari 1946, sebuah peristiwa bersejarah tercipta. Saat itu, sekelompok pemuda yang selama ini secara sukarela mengawal dan melindungi Presiden Soekarno menjadi saksi sekaligus pelaku sebuah operasi penyelamatan berlangsung.

Mantan pengawal Bung Karno, Mayjen TNI (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo dalam buku 70 Tahun Paspampres mengisahkan, pada akhir tahun 1945 kondisi di Jakarta kian tak kondusif. Kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda saling serang.

Ketua Komisi Nasional Jakarta Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda.

"Karena itu, pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara," ungkap Sukotjo.

Pada tanggal 3 Januari 1946, Bung Karno memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejumlah pejabat negara mulai dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya harus segera bertolak ke Yogya.

Rombongan meninggalkan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.

Perpindahan dilakukan dengan menggunakan kereta api berjadwal khusus sehingga disebut dengan Kereta Luar Biasa (KLB). Perjalanan KLB ini mengunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang disediakan Djawatan Keretea Api (DKA).

Rangkaian kereta api ini terdiri dari delapan kereta mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk Presiden, dan satu kereta inspeksi untuk Wakil Presiden.

Sukotjo mengisahkan, saat itu perjalanan dimulai pada sore hari dengan KLB berangkat dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan dan kereta api berhenti tepat di belakang rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56.

Setelah 15 menit keberangkatan, KLB kembali ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api kemudian melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam.

KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu sinyal aman dari Stasiun Klender. "Menjelang pukul 19.00, KLB melanjutkan perjalanan tanpa lampu dan bergerak lambat agar tidak menarik perhatian para pencegat kereta api yang marak di wilayah itu," tutur Sukotjo.

Tak hanya di dalam kereta, pengamanan juga dilakukan di jalur jalan raya yang bersinggungan dengan jalur kereta. Sebuah gerbong kosong diletakkan sebagai barikade.

Selepas Stasiun Klender, lampu KLB dinyalakan dan kereta api langsung melaju cepat dengan kecepatan 90 km per jam. Sepanjang perjalanan, KLB hanya berhenti dua kali yakni di Stasiun Cikampek pada pukul 20.00 dan Stasiun Purwokerto pukul 01.00.

Kereta tiba di Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 pukul 07.00. Keberhasilan operasi senyap ini pun dijadikan dasar hari lahirnya Paspampres pada 3 Januari.

Lahirnya Paspampres tidak serta merta terbentuk dari organisasi profesional. Organisasi ini baru lahir secara resmi dengan nama "Paspampres" pada era Orde Baru.

Namun, jauh sebelum itu, pasca-Indonesia merdeka, upaya perlindungan atau pengawalan terhadap Presiden sebagai kepala negara sudah dilakukan.

Pada tahun 1945, misalnya, saat itu hanya polisi yang masih memiliki senjata. Sementara tentara yang berasal dari PETA ataupun Heiho sudah dibubarkan dan dilucuti senjatanya.

Baca: F-16, Dari Perang Vietnam Hingga Kini

Baca: Setidaknya 1.200 Ekor Anjing Dipotong Setiap Hari di Kota Solo

Alhasil, para pemuda polisi dari Tokubetsu Keisatsutai (pasukan polisi istimewa) merasa perlu ada pengawalan bagi Presiden dan pimpinan negara lainnya. Niat itu didorong rasa tanggung awab atas keselamatan pimpinan negara walaupun saat itu mereka hanya berbekal senjata api berupa pistol dan senapan seadanya.

Pembantu Inspektur Mangil beserta delapan orang polisi pun mengajukan diri. Sementara itu, pimpinan polisi saat itu belum berani menentukan sikap karena masih berada di bawah pengawasan Jepang.

Setelah pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta, Kapten Polisi Tentara Kafrawi mulai mengatur organisasi pengawalan. Kegiatan Kafrawi ini mendapat dukungan dari Polisi Tentara. Bentukan ini kemudian dinamakan Pasukan Pengawalan Istana Presiden (PPIP).

Sementara Inspektur Mangil memimpin kawal pribadi dengan identitas tetap sebagai polisi.

Pada 22 Juni 1946, dibentuk Polisi Tentara di bawah pimpinan Jenderal Mayor Santoso. Kemudian dilakukan kembali pengaturan di mana kawal priadi tetap di bawah Inspektur Mangil sedangkan untuk PPIP merupakan 1 kompi Polisi Tentara.

Menjelang tahun 1948, Polisi Tentara AD, Polisi Tentara AL diubah menjadi polisi militer yang meliputi angkatan perang.

Pengawalan VIP kemudian berada di bawah Batalion Mobil B CPM dengan pembagian Kompi I di bawah Kapten Tjokropranolo yang mengawal Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan Kompi II di bawah Letnan Satu Susetio yang mengawal Presiden. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Barisan Terate Kumpulan Gembong Penjahat Yogyakarta Pengawal Bung Karno

TONTON JUGA:

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas