Presiden Jokowi Tak Teken, Ini Pasal-pasal Kontroversi dalam UU MD3
Meskipun sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak meneken revisi UU MD3, itu tidak berimplikasi secara kekuatan hukum.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
![Presiden Jokowi Tak Teken, Ini Pasal-pasal Kontroversi dalam UU MD3](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/pmii-jabar-tolak-revisi-uu-md3_20180228_203307.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RUU tentang Perubahan UU MD3, Kamis (15/3/2018) telah sah diundangkan dengan nama UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Meskipun sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak meneken revisi UU MD3, itu tidak berimplikasi secara kekuatan hukum.
Sebab, berdasarkan aturan pasal 73 ayat 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan UU tetap berlaku dalam jangka waktu 30 hari sejak ditetapkan meski tanpa tandatangan kepala negara.
Presiden menjelaskan alasan dirinya tidak menandatangani UU MD3 itu karena adanya keresahan di masyarakat terkait adanya pasal-pasal kontroversi dalam UU tersebut.
Untuk itu, Presiden mempersilakan masyarakat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan masalah ini.
Berikut beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3 dan menuai kontroversi:
1. Pasal 73
Revisi pasal ini berbunyi,"dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."
Artinya, terjadi perubahan kalau sebelumnya UU menyatakan polri sifatnya membantu untuk memanggil pihak yang tidak hadir saat diperiksa DPR.
Namun dengan adanya penambahan frase wajib dalam Pasal 73, DPR berharap tugas-tugasnya bisa berjalan lebih lancar. Bahkan, UU MD3 memperbolehkan Kepolisian untuk menyandera selama 30 hari orang-orang yang tidak mau datang ke DPR.
2. Pasal 84 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR
DPR bersama dengan Pemerintah menyepakati menambah satu kursi pimpinan DPR dan menambah tiga kursi pimpinan MPR.
Dengan keputusan ini, pimpinan DPR akan diisi enam orang.
Sementara pimpinan MPR bertambah menjadi delapan orang.