Jaksa Agung Beberkan Kendala Eksekusi mati di Indonesia
Kendala pertama, keputusan MK yang membatalkan batas maksimal pengajuan grasi satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo kembali menjelaskan soal kendala pelaksanaan eksekusi mati terhadap sejumlah terpidana dalam rapat kerja dengan Komisi III, Rabu, (28/3/2018).
Kendala pertama, keputusan MK yang membatalkan batas maksimal pengajuan grasi satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
"Dulu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 itu dibatasi waktunya hanya satu tahun paling lambat setelah perkaranya inkrah. Sekarang tidak dibatasi lagi kapan saja dia nyatakan grasi kemudian tidak ada batas lagi kapan dia akan mengajukan permohonan grasi, itu kan jd masalah," katanya.
Baca: Terdakwa Nur Alam Divonis Hakim Tipikor 12 Tahun Pidana Penjara
Selain itu, adanya putusan MK yang memperbolehkan pengajuan upaya hukum peninajuan kembali (PK) boleh lebih dari sekali. Sementara di satu sisi menurut Prasetyo sebelum eksekusi mati dilakukan, hak terpidana mengajukan upaya hukum harus terpenuhi.
"Jadi begitu mudah orang untuk berpraduga kenapa jaksa tidak segera eksekusi. Tapi sebenarnya itu kendalanya, kendala yuridis. Kalau teknisnya mudah saja. Kalau semuanya terpenuhi, tinggal ditembak saja sesuai dengan tata cara proses hukuman mati di negara kita," katanya.
Ketiga, yakni adanya reaksi negatif baik dari dalam maupun luar negeri apabila pemerintah melakukan eksekusi mati. Mereka menggap bahwa hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia.
"Tapi kita harus lihat berapa korban yang berjatuhan akibat dari pada kejahatan serius yang pantas. Coba kita perhatikan tindak pidana narkoba, sekarang ini sampai 50 juta keluarga masyarakat yang jadi korban penyalahgunaan narkoba," pungkasnya.