Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Korupsi Setya Novanto Melintasi Enam Negara

Uang yang mengalir ke Novanto, diputar-putar di lima negara yakni Amerika, India, Singapura, Hong Kong, Mauritius, dan berakhir di Indonesia.

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Korupsi Setya Novanto Melintasi Enam Negara
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3/2018). Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut terdakwa dengan hukuma 16 tahun penjara dengan denda Rp 1 Miliar subsider 6 bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan korupsi proyek e-KTP yang dilakukan Setya Novanto mirip upaya pencucian uang.

Uang yang mengalir ke Novanto, terlebih dahulu diputar-putar di lima negara yakni Amerika, India, Singapura, Hong Kong, Mauritius, dan berakhir di Indonesia.

Penilaian tersebut tertuang dalam surat tuntutan setebal 2.415 halaman yang dibacakan oleh jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/3/2018).

"Tidak berlebihan jika jaksa penuntut umum menyebut ini sebagai tindak pidana korupsi bercita rasa pencucian uang," kata anggota tim jaksa, Irene Putrie.

Irene menambahkan, uang yang mengalir ke Novanto tidak melalui sistem perbankan nasional sehingga terhindar dari deteksi otoritas pengawas keuangan di Indonesia.

Aliran dana ke Novanto berawal dari Anang Sugiana Sudihardjo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Quadra Solution, salah satu vendor proyek e-KTP.

Baca: Tetes Air Mata Deisti Tak Terbendung ketika Jaksa Menuntut Setya Novanto 16 Tahun Penjara

BERITA TERKAIT

"Anang mengirimkan uang untuk terdakwa Setya Novanto melalui perusahaan Johanes Marliem, PT Biomorf Mauritius yang selanjutnya dikirim melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sebesar 3,5 juta dolar AS dan melalui Made Oka Masagung sebesar 1,8 juta dolar AS dan sebesar 2 juta dolar AS," ungkap jaksa.

Antara Januari sampai Februari 2012, Johanes Marliem mengirim uang melalui sejumlah perusahaan dan money changer lewat mekanisme barter ataupun memanfaatkan transaksi pihak lain yang legal.

Uang tersebut antara lain diterima Juli Hira yang kemudian memberikannya secara tunai kepada Irvanto, keponakan Novanto.

Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3/2018). Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut terdakwa dengan hukuma 16 tahun penjara dengan denda Rp 1 Miliar subsider 6 bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/3/2018). Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut terdakwa dengan hukuma 16 tahun penjara dengan denda Rp 1 Miliar subsider 6 bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Jaksa juga menyatakan bahwa terdakwa Novanto tergolong sebagai white collar crime atau penjahat kerah putih.

Jaksa juga mengakui perkara korupsi Novanto sangat menarik perhatian publik.

Hal tersebut terjadi karena status dan kedudukan Setya Novanto sebagai Ketua DPR dan pimpinan Partai Golkar.

Baca: Menkes: Cacing pada Ikan Makarel Tidak Berbahaya

Selain itu juga karena kepribadian Novanto yang dikenal publik.

"Pelaku yang diajukan ke muka persidangan adalah seorang politisi yang punya pengaruh kuat, pelobi ulung, meski namanya kerap disebut dalam berbagai skandal korupsi, terdakwa dinilai santun," ujar Irene.

"Dari pendekatan kriminologi, karakteristik pelaku white collar crime kebanyakan mereka dikenal sebagai orang baik, supel, dan pintar bersosialisasi," imbuh Irene.

Irene menyatakan, membongkar kasus e-KTP cukup berat. Pasalnya, megakorupsi e-KTP ini tidak menggunakan modus-modus tradisional.

Pengusutannya dilakukan hingga ke luar negeri. Bahkan ada saksi penting yang bunuh diri di luar negeri. Saksi tersebut adalah Johannes Marliem.

"Hal-hal tersebut meski menghambat penanganan perkara tapi penuntut umum tetap percaya terhadap kebesaran Tuhan bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna dan selalu ada rahmat Tuhan kepada setiap penegak hukum dalam membongkar setiap kejahatan," ujar Irene.

Baca: Sandi Tantang Balik Menteri Susi Mengarungi Pulau Tidung, Renang 1 Km dan Lari 10 Km

Penanganan perkara e-KTP juga tidak bisa dilakukan lewat cara-cara yang konvensional.

Penyidik harus berpikir progresif, terutama dalam memaknai perbuatan menguntungkan diri sendiri yang tidak harus dilakukan dan diterima secara fisik oleh pelaku.

Deisti Astriani Tagor (pakai hijab merah muda) menangis saat mendengar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara.
Deisti Astriani Tagor (pakai hijab merah muda) menangis saat mendengar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara. (Tribunnews.com/Theresia Felisiani)

"Mengutip syair Billy Joel yang berjudul Honesty, maka penuntut umum ingin menyampaikan "honesty is hardly ever heard and mostly what I need from you", kejujuran adalah hal yang paling sulit didengar tapi sesungguhnya itulah yang kuinginkan dari dirimu," kata Irene.

Menurut jaksa, kasus yang melibatkan Novanto ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis.

Bahkan, dilakukan hingga ke luar negeri dan melibatkan sejumlah pihak di beberapa negara.

Jaksa pun berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelidikan kasus e-KTP.

"Kami mengucapkan terima kasih kepada counterparts kami di luar negeri," ujar Irene.

Menurut jaksa, kerja sama internasional yang dilakukan KPK menjadi pesan bagi siapapun, bahwa tidak ada tempat bagi pelaku kejahatan, sekalipun bersembunyi dan menyamarkan di luar negeri.

Baca: Trump Serang Amazon, Raksasa Online Itu Disebut Tidak Bayar Pajak yang Cukup

"You can run, but you can't hide," kata Irene.

Jaksa menuntut Setya Novanto dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 16 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama," kata jaksa Abdul Basir.

Dalam pertimbangan, jaksa menilai, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi.

Perbuatan Novanto berakibat masif, menyangkut pengelolaan data kependudukan nasional yang dampaknya masih dirasakan.

Perbuatannya juga menyebabkan negara mengalami kerugian negara besar. Novanto juga dinilai tidak kooperatif selama penyidikan dan penuntutan.

Hakim kemudian mempersilakan Novanto untuk menanggapi.

Setya Novanto
Setya Novanto (Theresia Felisiani/Tribunnews.com)

Setelah berkonsultasi dengan kuasa hukum, Novanto kembali ke kursi sidang dengan mengatakan akan melakukan pleidoi atau pembelaan.

Ketua majelis hakim kemudian menutup sidang dan menyatakan sidang akan dilanjutkan pada Jumat, 13 April mendatang.

Pada sidang kemarin, jaksa tidak membacakan seluruh surat tuntutan yang tebalnya mencapai 2.415 halaman.

Baca: UU Anti-terorisme Harus Mengatur Kapan Saatnya TNI Terlibat Penanganan Kasus Terorisme

Pantauan Tribunnews.com sebelum sidang dimulai, sejumlah jaksa kerepotan memindahkan surat tuntutan.

Dokumen itu dipindahkan menggunakan troli warna kuning.

Ketua majelis hakim kemudian meminta jaksa untuk membacakan intisari surat tuntutan.

"Ini surat tuntutannya sangat tebal, kalau dibacakan semua tidak cukup satu hari satu malam. Jadi disepakati, mohon jaksa bacakan yang pokoknya saja," kata Ketua Majelis Hakim, Yanto.

Sidang pembacaan tuntutan terhadap Novanto dihadiri Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono, dan Idrus Marham, politisi Golkar yang kini menjabat Menteri Sosial.

Keduanya datang sebagai sahabat Novanto dan memberi dukungan kepada Novanto.
"Saya datang sebagai sahabat, solidaritas," kata Agung.

Agung meminta Setya Novanto membongkar pihak-pihak lain yang terlibat dan menikmati uang korupsi proyek e-KTP.

"Bukalah selebar lebarnya, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya sehingga masyarakat bisa mengetahui, saya berharap seperti itu," ujar Agung.

Agung juga berharap Novanto dituntut ringan oleh jaksa.

Agung menilai Novanto sudah kooperatif selama proses persidangan dan memberikan informasi tentang keterlibatan sejumlah pihak lain. (theresia felisiani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas