Karena Sejarah Panjang, Pemuda Katolik Harus Jaga NKRI
Pemuda Katolik (PK) yang merupakan organisasi kemasyarakatan dalam tubuh Gereja Katolik di Indonesia harus menjadi penjaga utama
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Pemuda Katolik (PK) yang merupakan organisasi kemasyarakatan dalam tubuh Gereja Katolik di Indonesia harus menjadi penjaga utama ikatan tak terputus Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini mengingat Tahta Suci (Vatikan) termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1947 dan dengan mendirikan perwakilan di Indonesia dalam level Apostolic Delegatea. Selain itu hubungan Tahta Suci dan Indonesia (nusantara) sudah dilakukan sejak jaman Majapahit.
Demikian ditegaskan oleh AM Putut Prabantoro, Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) kepada para peserta Kursus Kepemimpinan Lanjut (KKL) Pemuda Katolik di Denpasar, Sabtu (28/4/2018).
Menurut Putut Prabantoro, hubungan antara Tahta Suci dan Indonesia yang dulu disebut dengan nama nusantara, telah terjadi sejak jaman Majapahit yang didirikan pada tahun 1293. Kontak pertama tersebut terjadi pada kurun waktu 1318 – 1330, ketika Odorico Mattiussi, biarawan dari Ordo Fransiskan diutus oleh Paus untuk mengadakan misi ke Asia.
Di nusantara, Mattiussi berkunjung ke Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Kunjungan tersebut tercatat dalam buku “Travels Of Friar Odoric of Pordenone”. Secara detil buku itu menjelaskan peta perjalanan Mattiussi ke nusantara yang berawal dari Padua, Italia menyebrang ke Laut Hitam, Persia, melalui Kakulta, Madras, Sri Lanka, Pulau Nikobar (Samudera Hindia) dan Sumatera. Dari Sumatera, Mattiussi meneruskan perjalanannya ke Jawa dan Kalimantan (Banjarmasin).
“Matiussi adalah orang Eropa kedua setelah Marcopolo yang berkeliling dunia. Secara tegas ia menyebut daerah yang bernama Sumatera. Dan Dalam catatan yang dibuat Mattiussi, disebut kerajaan beraliran Hindu-Budha yang bernama Majapahit. Perjalanan biarawan Fransiskan itu untuk mendapatkan informasi tentang wilayah Asia, yang sebagian besar penduduknya menganut agama Hindu dan Buda. Diperkirakan, kunjungan Mattiussi adalah kunjungan misi diplomatik dengan melihat rangkaian perjalanannya. Secara resmi Gereja Katolik Indonesia masuk Indonesia adalah tahun 1534 ketika Kepala Kampung Mamuya, Halmahera Utara dan masyarakatnya, dipermandikan oleh Gonzalo Velloso seorang pedagang dari Portugal,” ujar Putut Prabantoro.
Putut Prabantoro juga menjelaskan bahwa Tahta Suci mempunyai peran penting dalam pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Atas permintaan dari Uskup Pribumi Pertama, Mgr. A. Soegijapranata SJ, Tahta Suci mengakui kemerdekaan Indonesia dan menjadikan Tahta Suci merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan Tahta Suci ini mendorong negara-negara lain mengikuti jejak mengingat bahwa Vatikan memiliki pengaruh politik dunia.
“Oleh karena itu, tidak ada kata lain bagi Pemuda Katolik kecuali menjaga ikatan NKRI dalam bungkus Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, Pemuda Katolik didorong untuk tidak tinggal diam ketika NKRI mendapat ancaman,” tegas Putut
Menurut Putut yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa), ancaman NKRI yang harus dicermati adalah persoalan dari dalam negeri. Ada berbagai persoalan mendasar bangsa, yang jika tidak terselesaikan akan menghancurkan NKRI. Persoalan serius yang harus mendapat perhatian dari Pemuda Katolik anara lain, sebanyak 27% dari 6,4 juta pengguna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa, ada 118 UU yang tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, sebanyak 39% mahasiswa yang menerima paham radikal, melawan budaya hoax mengingat ada 800.000 situs hoax di Indonesia, dan korupsi.
“Pemuda Katolik Indonesia harus menjadi motor dalam Gereja Katolik di Indonesia untuk menjaga NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD NRI 1945. Perlu diingat ungkapan yang sering kita dengar bahwa kejahatan terbesar terjadi ketika orang baik tidak melakukan apapun ketika terjadi ketidakadilan di hadapannya. Dan, kita sering melakukan itu karena ketidakpedulian kita terhadap sesama,” pungkas Putut.