Vonis Praperadilan Diabaikan, Hakim Dinilai Melanggar Hukum
Pendapat senada juga dilontarkan Raden Yudi Anton Rikmadani yang mendesak pengadilan tidak melanjutkan perkara Edward.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tipikor dinilai telah melanggar prinsip hukum karena menyidangkan perkara yang sudah dinyatakan gugur.
Bahkan orang yang disidangkan dalam perkara tersebut masih ditahan kendati putusan hakim praperadilan sudah menggugurkan surat perintah penyidikan dan status tersangka bagi yang bersangkutan.
Hakim adalah "wakil Tuhan" di dunia. Tapi dalam hal ini hakim dinilai tak adil.
Hal itu disampaikan secara terpisah oleh dua orang pengamat hukum, Alvon Kurnia Palma dan Raden Yudi Anton Rikmadani, di Jakarta, Senin (7/5/2018), menanggapi persidangan terhadap pemilik Ortus Holding Limited, Edward Soeryadjaya, yang sempat dinyatakan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana pensiun Pertamina –sebelum status tersangkanya digugurkan sidang praperadilan pada 23 April silam.
"Saya menyayangkan, koq bisa-bisanya pengadilan tipikor menggelar perkara yang sudah gugur. Berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, red), apabila seorang tersangka dinyatakan tidak ditetapkan jadi tersangka, sebagaimana putusan praperadilan, maka pengadilan tipikor tidak berhak lagi menyidangkan perkara tersebut," ujar Alvon.
Pendapat senada juga dilontarkan Raden Yudi Anton Rikmadani yang mendesak pengadilan tidak melanjutkan perkara Edward.
Pasalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah terlebih dahulu mengeluarkan putusan pra peradilan bahwa Surat Perintah Penyidikan atas Edward tidak sah dan tidak mengikat dan oleh karenanya penetapan tersangka terhadap diri Edward tidak mempunyai kekuatan mengikat.
"Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), atas kemenangan Edward Soeryadjaya di praperadilan, maka Pengadilan Tipikor tidak boleh lagi menggelar persidangan. Kalau tetap menyidangkan, itu jelas melanggar hukum. Ini yang perlu dicermati hakim," ujar Raden Yudi.
Edward Soeryadjaya dinyatakan tersangka kasus korupsi Dana Pensiun Pertamina oleh Kejaksaan Agung sejak akhir 2017.
Pada 26 Maret 2018, Edward mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka dirinya. Pada 9 April 2018, digelar sidang praperadilan pertama. Namun pihak Kejaksaan Agung tidak hadir sehingga sidang ditunda sepekan.
Pada 16 April, sidang praperadilan mulai digelar. Hingga 23 April 2018, PN Jakarta Selatan menggelar lima kali sidang praperadilan sampai terbit vonis yang membatalkan surat perintah penyidikan dari Kejaksaan Agung terhadap Edward dan membatalkan penetapan tersangka atas nama Edward.
Tak dinyana, ketika praperadilan masih berjalan, Kejaksaan Agung melimpahkan berkas perkara Edward ke PN Tipikor Jakarta Pusat pada 18 April 2018. "Seharusnya kejaksaan jangan dulu menyerahkan berkas ke pengadilan sebelum ada putusan praperadilan atas kasus tersebut," kata Raden Yudi.
Hakim tunggal PN Jaksel, Aris Bawono Langgeng, sebelum membacakan putusan praperadilan Senin (23/4/2018), mengaku sudah mendapat informasi bahwa sidang perdana pembacaan gugatan perkara Edward di PN Tipikor akan berlangsung pada Rabu (2/5/2018).
Dengan begitu, Hakim Aris Bawono menyatakan dirinya masih berwenang menjatuhkan putusan di sidang praperadilan.
Setelah Edward memenangkan praperadilan, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa kasus Edward sudah di tangan pengadilan dan tak mau mematuhi putusan hakim praperadilan. Edward tetap berada dalam tahanan. “Putusan (praperadilan) aneh seperti ini harus kita abaikan,” kata Jaksa Agung Prasetyo.
Setelah Jaksa Agung tak mengindahkan putusan praperadilan, Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Selatan menggelar sidang perkara Edward pada 2 Mei 2018. Namun jaksa penuntut umum gagal membacakan dakwaan karena tim kuasa hukum Edward melakukan walk out.
Para pengacara ini menilai majelis hakim tidak menghormati putusan praperadilan PN Jakarta Selatan (PN Jaksel). Jaksa Agung Prasetyo langsung menanggapi sikap para pengacara itu.
"Maklumilah, dia dibayar oleh terdakwanya, oleh kliennya. Bayarannya makin besar, mungkin reaksinya makin kenceng," ujar Prasetyo.
Alvon Kurnia menilai, pengabaian atas putusan hakim merupakan preseden tidak baik. Alvon mengaku khawatir, kasus Edward Soeryadjaya merupakan kasus yang dipaksakan. Dia berharap, institusi penegak hukum mampu menjalankan tugasnya sesuai hukum yang berlaku.
Sementara Raden Yudi menyarankan pihak Edward Soeryadjaya mengajukan gugatan hukum atas tetap digelarnya persidangan walaupun sudah ada putusan praperadilan.
"Jadi, harusnya Edward Soeryadjaya mengajukan gugatan terkait soal ini. Karena, bagaimanapun Edward sebagai pihak yang dirugikan," ujarnya.
Ia juga mengingatkan, hakim itu wakil Tuhan di dunia. Setiap putusannya selalu diawali kalimat "demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa". "Hakim harus adil dan tidak boleh sewenang-wenang," katanya mengingatkan.