Keluarkan SKL, Mantan Kepala BPPN Didakwa Rugikan Negara hingga Rp 4,58 Triliun
Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung didakwa bersama-sama dengan Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum.
Sidang pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/5/2018), dipimpin oleh Hakim Ketua, Hakim Yanto dengan empat hakim anggota.
"Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak
yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul Nursalim belum melakukan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampik piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar," terang Jaksa Kiki Ahmad Yani.
Dijelaskan Jaksa Kiki Ahmad Yani, awalnya pada 4 April 1998, BPPN mengeluarkan SK yang menyatakan BDNI sebagai Bank Take Over. Selanjutnya, 21 Agustus 1998, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi yang pengelolaannya dilakukan oleh tim yang ditunjuk BPPN dan didampingi Group Head Bank Restrukturisasi.
Kemudian, BDNI mendapat dana BLBI dari BPPN. Bantuan itu berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet. BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh financial advisor yaitu J.P Morgan, Lehman Brothers, PT Danareksa dan PT Bahana kemudian membuat neraca penutupan BDNI dan melakukan negosiasi dengan pemegang saham pengendali Sjamsul Nursalim dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS).
Setelah perhitungan, jumlah kewajiban Sjamsul sebesar Rp 47,2 triliun yang dikurangi nilai aset sebesar Rp 18,8 triliun. Maka, besar JKPS terhadap Sjamsul Nursalim sejumlah Rp28.4 triliun.
Dalam kesepakatan, Sjamsul akan membayar secara tunai sebesar Rp1 triliun dan penyerahan aset sebesar Rp 27,4 triliun kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset.
Namun, setelah audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD dan PT WM atas piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI digolongkan sebagai kredit macet.
"Tanggal 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun terdakwa (Syafruddin) tak memberikan laporan rinci ihwal penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya terkait misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun," paparnya.
Syafruddin juga tidak melaporkan ada kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi, serta tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.
Akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang berisikan antara lain yakni menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.
Menurut jaksa, pada12 April 2004, terdakwa dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No 16 di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Dugaan kerugian negara dalam kasus ini, ungkap jaksa merujuk laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI tangal 25 Agustus 2017. Atas perbuatannya, Syafruddin diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.