Revisi UU Antiterorisme Sejak 2016, Ini 7 Pasal Jadi Perdebatan, Pelibatan TNI hingga Penyadapan
Pasalnya, revisi UU Antiterorisme telah diusulkan oleh pemerintah sejak 2016 setelah aksi teror bom di kawasan Thamrin.
Editor: Suut Amdani
Pasal 31 draf UU Antiterorisme sempat mengatur mekanisme penyadapan yang tak perlu izin dari pengadilan negeri.
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Selain itu, penyadapan juga harus dilaporkan kepada atasan penyidik.
Sementara, dalam RUU Antiterorisme, syarat tersebut hilang.
Akhirnya, disepakati penyadapan tetap harus mendapatkan izin dari pengadilan negeri seperti tercantum dalam draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018.
Dalam draf tersebut dinyatakan bahwa penyadapan dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.
4. Penebaran Kebencian
Kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi jika tak diatur secara ketat.
Hasil rapat Tim DPR dan Pemerintah 16 Maret 2018 sepakat menambahkan kata 'dapat' agar jangan sampai terjadi abuse of power dan menjaga kebebasan menyatakan pendapat.
5. Pasal "Guantanamo"
Awalnya, pasal 43A draf revisi UU Antiterorisme mengatur soal kewenangan penyidik maupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama 6 bulan.
Pasal 43 A, disebut dengan istilah "Pasal Guantanamo", merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, dimana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
Pasal baru itu dianggap sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan menunjukkan ketidakmampuan penyidik dalam melakukan pengusutan dalam waktu cepat.
Akhirnya pasal tersebut dihapuskan.