Rekomendasi FSGI Cegah Radikalisme di Sekolah
Federasi Serikat Guru Indonesia memaparkan empat catatan kritis dan lima rekomendasi dalam menangkal radikalisme di sekolah.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia memaparkan empat catatan kritis dan lima rekomendasi dalam menangkal radikalisme di sekolah.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menerangkan, berdasarkan hasil kajian dan diskusi bersama, FSGI memberikan beberapa catatan penting dan mendesak. Pertama, kekerasan dalam bentuk apapun semestinya tidak lagi terjadi di masyarakat, apalagi di dunia pendidikan.
"Ideologi radikalisme, yang berujung dengan aksi kekerasan berawal dari cara pandang yang tidak menghargai perbedaan. Merasa bahwa pendapatnya, diri atau kelompoknya yang paling benar dan anti terhadap pluralitas," ujarnya melalui keterangan tertulis, Senin (21/5/2018).
Menurut Heru, bit-bibit radikalisme sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan. Pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang.
Pembelajarannya tidak dirancang menghargai perbedaan. Sehingga para siswa dan guru terjebak pada intoleransi pasif, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan kegamaan, dan pandangan politik.
"Walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Model intoleransi pasif inilah yang mulai muncul di dunia pendidikan kita," kata Heru.
Poin kedua, guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Wasekjen FSGI, Satriwan Salim menerangkan, relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior. Pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah.
“Tidak tercipta ‘pembelajaran dialogis’ antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama,” ujar Satriwan.
FSGI menemukan bahkan ada guru yang tiap hari mengunggah di akun Facebook-nya berita-berita hoaks dari sumber tak kredibel. Aktif membagikan tautan dan video bermuatan kebencian SARA. Dan konten-konten yang memojokkan salah satu kelompok politik di negara.
Poin ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.
Fakta yang terjadi, guru membawa pandangan politik personalnya ke ruang kelas. Menyampaikan terang-terangan di depan siswa.
Poin keempat, menurut FSGI, masuknya bibit radikalisme ke sekolah karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan.
Berdasarkan keempat poin itu, FSGI memberikan beberapa rekomendasi sebagai bagian dari ikhtiar kolektif kita mencegah wabah radikalisme khususnya di dunia pendidikan:
1. Sebagai profesi yang mulia, guru mesti mengingat kembali kompetensi guru. Guru punya misi luhur yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV: “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
2. Pembelajaran di kelas harus semenarik mungkin. Guru jangan berhenti belajar mengenai metode pembelajaran yang kreatif dan kritis. Sudah waktunya para guru menghadirkan pembelajaran kritis.
3. Guru jangan lagi membawa pandangan politik pribadi ke depan siswa di kelas.
4. Orang tua juga harus berperan aktif dalam mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan gawai dan selama berinteraksi dengan internet.
5. FSGI mendorong Kemdikbud khususnya Pusat Kurikulum dan Perbukuan, untuk membuat semacam “model pembelajaran” yang bermuatan pencegahan terhadap intoleransi, radikalisme dan terorisme di setiap jenjang pendidikan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.