Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahli HTN: PK Anas Tak Perlu Dihubung-hubungkan Dengan Pensiun Atau Tidaknya Artidjo Alkostar

Tentunya PK ini dikabulkan atau tidak berada pada otoritas hakim yang dijamin independensinya oleh konstitusi.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Ahli HTN: PK Anas Tak Perlu Dihubung-hubungkan Dengan Pensiun Atau Tidaknya Artidjo Alkostar
KOMPAS IMAGES
Pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hak mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Menurut ahli hukum tata Negara, A. Irmanputra Sidin, bukan hanya Anas Ubaningrum, terpidana lainnya juga diberikan hak untuk mengajukan PK atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya.

Tentunya PK ini dikabulkan atau tidak berada pada otoritas hakim yang dijamin independensinya oleh konstitusi.

"Selama putusan itu bersandar pada Undang-undang serta hukum yang berlaku," ujar founder Law Firm Sidin Constitution, A. Irmanputra Sidin & Associates ini kepada Tribunnews.com, Kamis (24/5/2018).

Oleh karenanya menurut Irmanpytra Sidin, tidak perlu dihubung-hubungkan dengan akan pensiun atau tidaknya hakim agung Artidjo Alkostar.

Karena setiap putusan hakim memang pada pronsipnya bisa ditinjau kembali guna pencarian keadilan konstitusional.

Dalam memutuskan menerima atau menolak PK Anas, imbuhnya, hakim harus bersandar pada demi keadilan.

Berita Rekomendasi

"Demi keadilan berdasarkan KeTuhanan Yg Maha Esa. Bukan demi lainnya untuk menerima atau menolak PK tersebut," jelasnya.

Sebagai informasi hakim agung Artidjo Alkostar akan memasuki pensiun setelah 18 tahun menjadi hakim agung.

Jabatan struktural tertingginya adalah Ketua Muda MA bidang Pidana.

Menurut jubir MA, hakim agung Suhadi, Artidjo terakhir kali bersidang pada Jumat (18/5/2018).

Sebelumnya Anas Urbaningrum mengajukan upaya hukum PK.

Sidang pendahuluan PK rencananya akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).

"Ya, intinya perjuangan keadilan PK itu disediakan untuk pencarian keadilan yang tercecer. Saya merasa, berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti yang terungkap di persidangan, putusan yang dijatuhkan kepada saya itu jauh dari keadilan," ujar Anas saat ditemui di PN Jakarta Pusat, Kamis.

Menurut Anas, seluruh persidangan yang ia jalani mulai dari tingkat pertama hingga ke Mahkamah Agung tidak ada yang berbasiskan kepada fakta dan bukti yang terungkap di persidangan.

Anas merasa dirinya diperlakukan secara tidak adil.

Anas merasa yakin pengajuan PK akan dikabulkan oleh Hakim Agung.

Menurut Anas, pengajuan PK dilandasi adanya bukti baru, serta diperkuat dengan argumentasi yang kokoh untuk menjadi dasar pertimbangan majelis hakim.

"Buat saya, ini adalah perjuangan keadilan. Mudah-mudahan kesempatan yang baik ini betul-betul saya diadili, sehingga putusannya nanti putusan yang adil," kata Anas.

Sebelumnya, Mahkamah Agung memperberat hukuman terhadap Anas Urbaningrum, setelah menolak kasasi yang diajukannya.

Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun.

Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan.

Krisna menjelaskan, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.

Apabila uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, maka seluruh kekayaannya akan dilelang.

Apabila masih juga belum cukup, ia terancam penjara selama empat tahun.

Majelis hakim yang memutus kasus tersebut terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme.

MA mengabulkan pula permohonan jaksa penuntut umum dari KPK yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.

Majelis hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam secara pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU jo Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu.

Majelis Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Majelis menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru.

Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.(*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas