Kuasa Hukum Temenggung Nilai Kasus SKL BLBI Masuk Ranah Perdata, Ini Alasannya
Pertama, dasar KPK mendakwa kliennya karena tidak melaporkan adanya misrepresentasi Sjamsul Nursalim atas Hutang Petani Tambak yang macet.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), terdakwa dugaan korupsi SKL BDNI, Hasbullah, menyatakan, ada beberapa faktor dalam kasus yang menjerat kliennya merupakan wilayah keperdataan.
Pertama, dasar KPK mendakwa kliennya karena tidak melaporkan adanya misrepresentasi Sjamsul Nursalim atas Hutang Petani Tambak yang macet.
Baca: Jaksa KPK Tidak Sependapat Sidang Korupsi BLBI Ditangguhkan
"Padahal kesepakatan kewajiban Sjamsul Nursalim pada tahun 1998 dalam MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) yang diteken oleh pemerintah dan para debitur BLBI menjadi dasar penyelesaian masalah hutang para debitur BLBI kepada pemerintah atau jauh sebelum SAT menjabat BPPN," kata Hasbullah di Jakarta, Senin (28/5/2018).
Hasbullah menuturkan, pada saat itu Ketua BPPN, Glen M Yusuf menyepakati bahwa kewajiban Sjamsul Nursalim atas BDNI-BLBI adalah jumlah keseluruhan BDNi Rp46,8 triliun dengan pembayaran aset BDNI sejumlah Rp18.8 triliun (dengan rincian piutang pihak ketiga, cash, dan piutang petani tambak sebesar Rp4.8 triliun).
Sisa Rp46.8 -18.8 adalah Rp28 triliun dibayar oleh Sjamsul Nursalim dengan rincian Rp27 triliun berupa aset dan Rp1 triliun berupa setara tunai).
"Kesepakatan tersebut sudah dituangkan dalam MSAA yang ditandatangani Glen Yusuf dengan Sjamsul Nursalim," paparnya.
Lebih lanjut Hasbullah mengatakan, kesepakatan tersebut kemudian telah dinyatakan selesai lewat Surat Realese and discharge yang ditandatangani oleh BPPN dan Menteri Keuangan tanggal 25 Mei 1999 dan Syafrudin Arsyad Temenggung belum menjabat sebagai Ketua BPPN.
Kemudian bulan November, atas dasar audit LDD LGS dan FDD artur anderson, BPPN menyatakan Sjamsul Nursalim misrepresentasi karena Hutang Petambak yang dijadikan alat bayar BDNI adalah kredit macet sehingga petambak tidak bayar Rp 4,8 triliun.
"Oleh karena itu BPPN membebaskan secara sepihak kepada Sjamsul, kemudian Sjamsul menolak karena kewajibannya sudah disepakati sejumlah Rp28 triliun dan piutang petani tambak bukan tanggung jawabnya berdasarkan MSAA," jelasnya.
Dalam MSAA, sambung Hasbullah jika terjadi misrepresentasi padahal sudah disepakati maka seharusnya jika tidak disepakati adanya misrep harus di selesaikan melalui Pengadilan lewat gugatan perdata.
Namun BPPN dan pemerintah pada saat itu tidak melakukan gugatan di pengadilan.
Sehingga sampai dengan Syafrudin menjabat ketua BPPN (22 April 2002) tidak pernah Sjamsul secara hukum dinyatakan misrepresentasi.
Karena itulah dasar KPK mendakwa Syafrudin merupakan wilayah hukum perdata bukan pidana. "Sehingga dakwaan KPK ksalah orang (error in persona)," tegasnya.
Terpisah pengamat hukum pidana dari Univeristas Al Azhar Prof Suparji Ahmad mengatakan, dalam kasus Syafruddin memang ada unsur perdata karena soal kewajibannya telah diselesaikan melalui hubungan keperdataan.
"Namun adanya dugaan unsur kerugian negara, memperkaya orang lain atau korporasi, itu menjadi tantangan bagi Pengadilan Tipikor, apakah bisa membuktikan atau tidak," katanya.