Pengamat Nilai Penyelesaian Kasus BLBI Tak Adil
Menurut Eko, padahal pemerintah sendiri sudah membuat kebijakan, siapa yang kooperatif mendapat insentif dan tidak boleh kena penalti.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Masalah Keuangan dan Perbankan, Eko B Supriyanto, menilai sangat tidak adil mencampur-adukan semua penyelesaian permasalahan Bantuan Luikiditas Bank Indonesia (BLBI) seolah-olah semuanya adalah korupsi.
Menurut Eko, padahal pemerintah sendiri sudah membuat kebijakan, siapa yang kooperatif mendapat insentif dan tidak boleh kena penalti.
Baca: DKI Berultah Ke-491, Kadonya Sanksi Pajak Dihapus dan Berlaku Sampai 31 Agustus 2018
Apalagi bagi yang telah menyeiesaikan seluruh kewajibannya, pemerintah telah mengeluarkan surat release and discharge (surat pembebasan dan pelepasan) dari segala tuntutan hukum.
“Untuk memberikan kepastian hukum, karena sudah menyelesaikan kewajiban MSAA -- harusnya Syafruddin Arsjad Temenggung, mantan Ketua BPPN yang didakwa merugikan negara Rp4,58 triliun akibat memberikan SKL kepada Sjamsul Nursalim (BDNI) tidak layak disidangkan," ujarnya dalam keterangannya.
Eko mengacu pada penyelesaian kewajiban pemegang saham melalui MSAA, di mana lima pesertanya: Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), M. Hassan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya) dan Ibrahim Risyad (RSI) telah menyelesaikan kewajibannya.
“Khusus untuk PKPS BDNI, BPK-RI pada kesimpulan laporan auditnya 30 November 2006 menyatakan surat keterangan lunas-SKL layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam penjanjian MSAA dan perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden No.8 Tahun 2002”
Sebagaimana diberitakan, Kasus BLBI sudah memasuki tahun ke 21 sejak dikucurkan tahun 1997. Kasus ini menjadi menarik karena persidangan terhadap Syafruddin Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Syafruddin Temenggung didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian SKL terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu obligor BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 4,58 triliun.