Anwar Budiman: Buruh Asing Ilegal 'Jajah' Hak Buruh Lokal
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.JAKARTA – Tujuan bernegara, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah sangat jelas, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
“Kini, hak itu tiba-tiba direnggut para buruh asing ilegal. Mereka ‘menjajah’ buruh lokal kita,” ungkap pakar hukum perburuhan Dr Anwar Budiman usai menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Sinergitas Pemantauan Orang Asing, Ormas Asing dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi DKI Jakarta di Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (28/6/2018).
Narasumber lain dalam acara itu ialah Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Divisi Imigrasi Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta F Hananto, serta perwakilan dari DPRD DKI Jakarta.
Sebenarnya, kata Anwar, saat ini sudah terbuka lapangan pekerjaan, sehingga terbuka pula kesempatan bagi buruh atau tenaga kerja lokal untuk bekerja.
“Namun, ketika kesempatan untuk bekerja itu terbuka, ternyata diambil dan dikuasai oleh orang asing, dalam hal ini tenaga kerja asing, bahkan tenaga kerja asing yang ilegal, di mana keberadaan mereka tidak sesuai dengan amanah UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” jelasnya.
Memang, kata Anwar, yang tercatat oleh Pemerintah RI adalah tenaga kerja asing (TKA) legal atau sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, namun yang dipermasalahkan oleh masyarakat adalah keberadaan TKA ilegal yang nyata-nyata ada, tetapi tidak tercatat.
“Hal inilah yang menjadi permasalahan saat ini, sehingga perlu ditingkatkan pengawasan terhadap orang asing, mulai dari kedatangan di pelabuhan atau bandara, kegiatan di lapangan, hingga kembali ke negara asal,” terang aktivis buruh kelahiran Jakarta 1970 ini.
Anwar kemudian mengutip sinyalemen Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf bahwa jumlah TKA ilegal di Indonesia jauh lebih banyak atau tiga kali lipat dari yang terdaftar.
Mereka masuk ke Indonesia dengan visa turis atau bisnis. Jumlah TKA yang terdaftar saat ini di kisaran 73 ribu orang, sekitar 24 ribu di antaranya berasal dari Tiongkok.
Anwar pun merujuk sejarah, di mana saat Belanda menjajah Indonesia, diawali dengan datangnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602, di mana persekutuan dagang asal Belanda ini memiliki monopoli perdagangan di Asia.
“VOC awalnya berdagang, tidak semata-mata langsung menjajah. Tapi begitu VOC melihat situasi dan kondisi Nusantara saat itu terjadi dikotomi antara kaum bangsawan dan rakyat jelata, maka Belanda mulai menyebarkan pengaruhnya untuk menerapkan politik devide et impera (adu domba), dan pada akhirnya dapat menguasai Nusantara dengan menjajah, dan kemudian dijadikan Hindia Belanda. Sejarah kelam ini jangan sampai terulang kembali,” pintanya.
Sebab itu, kata Anwar, pengawasan terhadap orang asing dan TKA harus diperketat, jangan sampai kita kecolongan.
Untuk melakukan tugas pengawasan tersebut, menurutnya, selain melibatkan tim Pengawasan Orang Asing (PORA), sebaiknya juga melibatkan elemen masyarakat lain, termasuk masyarakat industri seperti pekerja dan serikat pekerja, serta organisasi buruh, bahkan kepada mereka yang melakukan pengawasan perlu diberikan perlindungan hukum.
“Ini bagian dari tugas bela negara, dan kewajiban membela negara menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia,” paparnya.
Anwar kemudian mendesak Peraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA dievaluasi, karena regulasi ini dijadikan celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk memasukkan TKA ilegal ke Indonesia.
Pun ada yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan, seperti RPTKA yang di dalam Perpres merupakan izin mempekerjakan orang asing, sedangkan di UU Ketenagakerjaan merupakan syarat untuk mendapatkan izin kerja.
“Timing terbitnya Perpres juga tidak tepat. Di saat masyarakat resah karena TKA ilegal, Presiden baru menerbitkan Perpres, sehingga kontraproduktif,” urainya.
“Di sisi lain, jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan yang saat ini hanya sekitar 1.900 orang harus ditambah,” tandasnya.