Dihalangi Hak Politiknya, Mantan Gubernur Aceh Laporkan KPU RI ke DKPP
Panwaslih Aceh mengabulkan permohonan Abdullah Puteh yang menggugat KIP Aceh. Dengan dikabulkannya gugatan ini, Puteh bisa kembali nyalon
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Abdullah Puteh, melaporkan komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Baca: Dua Mobil Rusak Parah Akibat Adu Banteng, Pengemudi Langsung Dilarikan ke Rumah Sakit
Upaya pelaporan tersebut dibuat, karena pria berusia 70 tahun itu merasa dijegal hak politik untuk maju menjadi calon peserta pemilihan umum (pemilu) DPD RI pada 2019.
KPU RI membuat Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Aturan memuat pasal melarang mantan narapidana korupsi mengikuti pemilu 2019.
Penasihat hukum Abdullah Puteh, Zulfikar Sawang, mengatakan laporan dibuat, setelah putusan panitia pengawas pemilihan (panwaslih) Aceh tidak dilaksanakan oleh KIP Aceh.
Panwaslih Aceh mengabulkan permohonan Abdullah Puteh yang menggugat KIP Aceh. Dengan dikabulkannya gugatan ini, Puteh bisa kembali nyalon sebagai anggota DPD RI.
"Komisioner KIP Aceh dan Komisioner KPU yang kita laporkan. Kami mengadu terhadap tidak dilaksanakan putusan panwaslih Aceh oleh KIP Aceh," ujar Zulfikar Sawang, ditemui di kantor DKPP, Senin (27/8/2018).
Menurut dia, KPU RI memerintahkan KIP Aceh menunda pelaksanaan putusan. Atas dasar itu, pihaknya sudah mencoba untuk berkomunikasi dengan KIP Aceh.
"Setelah, kami komunikasi dengan KIP, beberapa kali tidak ada jawaban memadai. Tentu, kami tidak tahu lagi mau ke mana. Sangat dirugikan, hak diamputasi," kata dia.
Sementara itu, Abdullah Puteh, merasa telah diperlakukan tidak adil oleh KPU RI dan KIP Aceh. Hal ini, karena KPU RI di dalam membuat peraturan tidak mengacu pada UU Pemilu.
Padahal, menurut dia, UU Pemilu menyebutkan mantan narapidana yang diancam hukuman 5 tahun penjara dan telah selesai menjalani masa hukuman, harus mengumumkan kepada publik tentang riwayat pidana. Dia mengaku sudah melakukan hal tersebut.
"Ini kegaduhan nasional akibat kegenitan KPU. Dan itu, KPU sudah menyimpang dari UUD 1945. KPU sudah anti pancasila," kata Abdullah Puteh.
Untuk itu, dia berharap, DKPP sebagai
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dapat menegakkan etika sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"DKPP sebagai penyelenggara berkewenangan menegakkan etika harus ditindak yang salah ini melakukan penyimpanan, kegaduhan demokrasi," tambahnya.
Seperti diketahui, Abdullah Puteh pernah dijebloskan ke Rutan Salemba, Jakarta karena dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar, pada 7 Desember 2004.
Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.