Pemerintah Perlu Lakukan Pembaharuan Konsep Keamanan Nasional
'konsep keamanan nasional' segera diperbaharui yang memasukkan ancaman perkembangan internasional yang ada.
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkembangan internasional memiliki dampak positif dan negatif bagi setiap negara di dunia.
Pada sisi positif, perkembangan internasional mampu membawa kemajuan bagi teknologi dan telekomunikasi di sebuah negara sementara sisi negatif, dapat membawa dampak paling buruk yaitu keruntuhan sebuah negara.
Guna menghindari dampak paling buruk yang terjadi, Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB, Pontjo Sutowo mengharapkan agar konsep keamanan nasional segera diperbaharui yang memasukkan ancaman perkembangan internasional yang ada.
Konsep keamanan nasional yang ada di Indonesia masih sangat tradisional karena makna keamanan dan pertahanan secara tegas dipisah menjadi hitam dan putih.
"Tidak komprehensif sebagai mana yang dilakukan masyarakat internasional dewasa ini," kata Pontjo saat diskusi Panel Serial 2017-2018, menyelenggarakan Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema ATHG Dari Luar Negeri (Perkembangan Internasional) di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-15 ini, adalah: Prof. Dr. Hasjim Djalal, M.A dan Rene L. Patiradjawane serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Baca: Data Rekanan Keamanan Nasional Australia Dicuri
Untuk itu, Pontjo Sutowo meminta agar konsep keamanan nasional memasukkan juga di dalamnya ancaman dari perkembangan internasional terbaru seperti sebagai berikut.
Pertama isu "The Belt and The Road Inisiatif atau OBOR. OBOR merupakan perluasan pembangunan infrastruktur yang diprakarsai Cina dengan skema "Turn Key Projects Management" yaitu suatu proyek yang dana, manajemen, material, marketing, dan tenaga manusianya semua berasal dari Cina.
Kedua, isu "Silent Invension". Isu ini merupakan isu yang angkat oleh Clive Hamilton. Dalam isu ini dikatakan jika kampanye spionase dan pengaruh intrik China yang sistematis mengarah pada "erosi kedaulatan Australia".
"Erosi disebabkan karena gelombang migrasi China ke Australia termasuk di dalamnya para milyuner, pemilik media, mahasiswa, serta profesional lainnya. Isu ini sangat mungkin juga berlangsung di Indonesia," katanya.
Ketiga, desakan ditetapkan ALKI-IV (Timur-Barat). Desakan yang muncul dari AS dan Australia ini meminta Indonesia menetapkan ALKI-IV yang membentang dari Laut Arafuru hingga Laut Jawa sehingga merusak konsekwensi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Baca: Apa Kata Erick Thohir Soal Kesiapan Indonesia Jadi Tuan Rumah Olimpiade?
"Konsep keamanan nasional sudah merupakan lampu merah yang harus diperbaharui. Apabila tidak segera diselesaikan dan ditempatkan pada tataran regulasi yang lebih tinggi tingkatannya, dikawatirkan dapat menyebabkan terjadinya mispresepsi tentang pengelolaan keamanan nasional yang berujung tidak memberi kontribusi positif bagi penataan ulang sektor keamanan nasional Indonesia dimasa mendatang," kata Pontjo Sutowo.
Sementara itu Hasjim Djalal menyatakan, perkembangan internasional dari konflik di Laut Cina Selatan dapat berimbas negatif bagi Indonesia. Sekalipun Indonesia tidak termasuk negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan, seperti Cina dan Cina-Taipei, Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam, Vietnam.
"Imbas bagi Indonesia baru terjadi jika 9 garis putus-putus Cina/Cina-Taipei bersinggungan dengan ZEE dan landas kontinen Indonesia. Meskipun demikian, dari awal secara tidak resmi, Cina telah mengakui Natuna adalah wilayah RI dan tidak memiliki masalah dengan Indonesia," katanya.
Rene L. Patiradjawane mengatakan jika perkembangan internasional telah demikian cepat. Perubahan yang membawa AS dan Cina menjadi negara adidaya secara ekonomi dan militer. Padahal sebelumnya kita hanya mengenal 1 negara adidaya saja yaitu AS.
"Perubahan tersebut ternyata menghadirkan persaingan antara keduanya dan menjadi ancaman bagi Indonesia," tuturnya.
Sayangnya masalah krusial tersebut belum disikapi dengan semestinya oleh bangsa Indonesia. Belum ada kesatuan pandangan tentang geopolitik maupun perkembangan geo-ekonomi di antara para elit politik dan kementerian-kementerian di lingkungan pemerintahan. Sebagai akibatnya, masalah yang ada menjadi masalah yang semakin rumit.
"Untuk itu sudah saatnya Indonesia menyatukan pandangan tentang geopolitik dan perkembangan geo-ekonomi agar mampu meminimalisasi ancaman dari perkembangan internasional yang demikian pesat," kata Rene.